Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Insentif Pemerintah Bukan David Copperfiled, Apalagi Bandung Bondowoso

11 Agustus 2020   13:59 Diperbarui: 12 Agustus 2020   20:59 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara insentif selalu menarik. Sekurangnya selalu dinanti dan diharapkan para ASN, petani, UMKM maupun karyawan juga perintis usaha. Uang THR, kenaikan gaji berkala, gaji ke-13, beasiswa, percepatan kenaikan pangkat, dll. adalah bagian insentif bagi ASN agar lebih giat bekerja dan berkinerja.

Kemudian bagi petani, insentif bisa berupa pupuk subsidi, bantuan saprodi, kenaikan harga beras atau digitalisasi pasar gratis, dll dan menjangkau kawan-kawan UMKM, insentif bisa diwujudkan dengan pemberian kredit lunak, kemudahan perijinan dan penghapusan pajak, aplikasi on line gratis adalah sebagaian insentif yang ditunggu mereka. 

Begitu juga insentif menjadi sesuatu yang paling berharga bagi karyawan swasta, apalagi penghasilannya kurang dari Rp 5 juta per bulan. Demikian juga khusus bagi kalangan perintis usaha, insentif menjadi penenang atas debutan usaha yang tentu saja belum stabil pasar dan produksinya.

Pada fase pertama ini, pemerintah membatasi diri dengan menurunkan insentif kepada para karyawan sebesar Rp 2,4 juta atau Rp 600 ribu per bulan, mulai September hingga ahir tahun 2020. 

Kebijakan ini patut disambut gembira terutama para pekerja di perusahaan swasta dan sudah terdaftar pada BPJS Ketenagakerjaan. Uluran pemerintah ini akan menjadi pemompa semangat bagi karyawan di tengah kusamnya serangan pandemi covid-19 ini.

Bagi perintis usaha, sekurangnya juga insentif ini bakal mampu memperpanjang umur usaha yang di rintis, atau sejelek-jeleknya bisa untuk tambahan transportasi dan/atau operasional.

Memang, kalau dibilang semua bantuan selalu disebut kurang, tapi tentu kita harus bisa maklum atas keterbatasan anggaran negara dalam menyelamatkan warga dan usahanya. 

Untuk itu, bukan besarannya tapi terpenting dana insentif itu nanti tepat sasaran, memastikan sampai di tangan karyawan secara utuh. Maka, pendataannya di sini harus valid atau akurat. 

Jangan sampai terjadi manipulasi data apalgi distribusinya. Seluruh pemangku kepentingan bersama masyarakat wajib mengontrol atas proses tersebut secara gotong royong.

Barangkali, di musim covid-19 ini masyarakat bisa maklum atas pendapatan yang diterima juga kemampuan perusahaan menghidupinya. Di masa awal covid, sebagian warga mengaku takut, tapi yang membuat miris sekarang lebih takut terkena PHK atau dirumahkan maupun perusahaannya tutup. 

Nyatanya setelah sebagian karyawan teimpas PHK yang berpesangon maupun tanpa pesangon, atau karyawan yang bekerja atas model shifting, misalnya kerja bergantung kala perusahaan memanggil atau bergiliran dua minggi sekali atau bahkan sebulan 3-4 kali dan tragisnya perusahaan hanya mampu membayar mereka lewat perhitungan hari atau jam masuk kerja.

Para karyawan, di tengah covid-19 ini dengan penuh semangat dan optimism juga pengharapan selalu bersuaha untuk tak pernah takut dengan keadaan, namun lagi, lagi, kini mereka ini lebih takut pada kelangsungan hidup keluarga, pada pendidikan anak-anaknya. 

Belajar daring meski tanpa mengeluarkan transportasi ke sekolah, tapi pengeluaran pembelian kuota internet jauh lebih besar ketimbang uang jajan saat bersekolah tatap muka seperti sebelum pandemi mengigit.

Menimbang situasi pandemi yang tak tahu kapan berhenti, sudah seharusnya para karyawan untuk mengubah paradigmanya. Perlu dipikirkan bahwa tak selamanya akan menjadi karyawan. 

Selain usia dengan kemampuan fisik yang terbatas, regulasi pun siap menerkamnya. Maka kemudian, jalan terbaik adalah sejak sekarang karyawan sudah menyiapkan usaha ekonomi produktif, meski sederha tapi kontinyu akan lebih baik ketimbang usahanya hanya musiman. 

Di sinilah perlu punya keberanian mental dan persiapan matang secara matematika, khususnya kemampuan finansialnya. Mental karyawan harus sedikit demi sedikit bergeser ke mental boss, mental penumpang berubah ke mental driver, dll.

Percuma saja berlayar. Kalau kau takut gelombang, Percuma saja bercinta, Kalau kau takut sengsara. Sekurangnya, penggalan lirik lagu dari Meggy Z cukup relevan memompakan adrenalis wirausaha bagi kita.

Kita semua mengakui, sektor wirausaha dengan usaha ekonomi produktif menjadi kekuatan ampuh dalam menghalau krisis ekonomi dan moneter kala menimpa negeri ini sekira tahun 1997-1999-an. 

Karyawan atau warga yang memulai usaha baru ini sudah barang tentu akan memperpanjang sosok-sosok pengusaha atau wirausaha ini yang diharapkan berkontribusi mampu membalik kemiskinan di negeri ini. UMKM dengan ragam usaha besar, menengah, kecil dan mikronya bahkan berpotensi ekspor.

Potensi produk UMKM, seperti: Handycraft dan furniture; Batik, tenun, bordir, fashion dan aksesoris; Food and beverage; Agrobase product; dan lain-lain (gitar, sapu glagah, knalpot) memiliki peluang pasar yang bagus baik di tingkat regional maupun internasional. 

Banyak produk unggulan UKM kita yang berpotensi ekspor, terdiri dari: 60 UKM handycraft; 55 UKM furniture; 223 UKM fashion dan aksesoris; 50 UKM food and beverage; serta 7 UKM herbal spa and beauty. 

Terdapat 722 komunitas UMK di Jateng, yang terdiri dari: klaster makanan minuman; fashion; perdagangan; peternakan; perikanan; handy craft; klaster ekonomi kreatif (IT, film, dll); klaster jamu; klaster pariwisata; dan klaster jasa (laundry, salon, dll).

Kita ingin membawa karyawan tak menjadi karyawan kerja-pulang, kerja-pulang, tapi mesti mengembangkan diri, kreatif dan inovatif serta jeli dalam melihat setiap peluang untuk berwira usaha. 

Jangan takut untuk memulai sesuatu yang baru. Pemprov Jateng terus mendukung masyarakat, tak terkecuali para santri untuk berwirausaha. Karyawan maupun perintis usaha  harus bisa menyesuaikan diri dengan era revolusi industri 4.0. Punya keterampilan wirausaha yang mumpuni dan terampil dalam melihat peluang bisnis. 

Potensi pasar Indonesia yang sangat besar diiringi laju pertumbuhan ekonomi yang pesat serta menjamurnya start-up bisnis terutama dari kalangan milenial. Karyawan dan perintis usaha jaman kini tidak cukup hanya berbekal ilmu pengetahuan, akan tetapi harus sukses juga dalam berwirausaha.

Ada 3 (tiga) hal memotivasi seseorang menjadi wirausahawan dan memulai bisnis UMKM, yaitu dorongan kebutuhan, ketertarikan pada peluang, serta pengaruh lingkungan sosial. 

Tidak sedikit orang yang memulai bisnis karena tidak ada pilihan lain/kepepet, karena berbagai keterbatasan baik pendidikan, fisik, maupun keterampilan. 

Namun bisa juga karena tertarik melihat peluang bisnis. Selain itu, dorongan orang-orang di sekitarnya bisa membuat seseorang memulai sebuah bisnis.

Bukan Me-Too

Prinsip wirausahawan, di antaranya Bisa melihat kesempatan, ubah ancaman menjadi peluang. berani mengambil risiko, tetapi risiko yang diperhitungkan, bukan berspekulasi. 

Dan, mau dan bisa bekerja sama (berkolaborasi), tidak hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri tetapi juga kolektif. Menjadi wirausahawan juga harus kreatif. Langkah pertama adalah menemukan ide-ide yang baru dan tidak sekedar me-too (ikut-ikutan). 

Namun, sekedar memiliki ide-ide yang unik dan segar tidaklah cukup. Anda harus bisa mewujudkan ide tersebut menjadi sebuah karya nyata. Inilah elemen kedua dari kreativitas: eksekusi.

Dari mana dapatnya ide kreatif? Dapatkanlah ide-ide murah yang ada di sekeliling Anda. Ide-ide yang sering terlewatkan oleh mata dan telinga orang-orang biasa. Gali dengan per-tanyaan yang tidak biasa, jangan terburu-buru alergi jika mendapatkan jawaban yang juga tidak biasa. Siapa tahu, dari sana Anda akan menemukan ide bisnis yang luar biasa. 

Untuk menemukan sumber-sumber ide kreatif, coba datangi tempat-tempat baru; temui orang-orang baru; dan pelajari industri-industri baru. Namun ide-ide kreatif hanya akan menjadi angan-angan tanpa ada kemauan untuk mengeksekusinya. Tantangannya bagi para wirausaha adalah sering kali tidak ada cukup kemauan untuk mengeksekusi ide-ide baru yang telah didapatkan.

Untuk menghilangkan rasa malas dan keengganan, kadang kala kita harus menciptakan "faktor-faktor pemaksa". Apa saja itu? Bisa finansial, mental, maupun sosial. Selain itu, penting rasanya dalam menjalankan usaha baru ini kita pegang nilai tambah produk. 

Sekali lagi, value Added menjadi penting, mengapa orang harus beli produk kita, Apa yang menarik dari produk kita, Ada apa di balik produk kita dan nilai tambah apa yang ada pada produk kita, dan yang membedakan dengan produk lain. 

Di era digital ini, kewirausahaan harus memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi untuk membangun jejaring komunikasi; untuk saling menguatkan; saling belajar; tukar menukar informasi; pemasaran; memudahkan koneksi pasar; serta pengembangan satu standar untuk produk yang sama.

Yang paling penting adalah upaya untuk mempraktikkan. Seiring dengan hal tersebut, karyawan dan perintis usaha juga harus meng-upgrade skill dan memperluas visinya jika ingin bersaing di tingkat global. 

Penggunaan teknologi informasi memang mutlak diperlukan untuk memperluas jangkauan pasar. Namun hal itu harus diiringi dengan kualitas produk yang bagus dan mempunyai kualitas global. 

Satu hal yang harap digarisbawahi adalah insentif ini hanyalah pancingan, atau hanya kail bukan ikan bagi kawan-kjawan karyawan yang masih bergaji mini dan atau bagi perintis usaha. Artinya wajib dipahami bagi semuanya, insentif ini ada masa akhirnya.

Harapannya, penerima insentif mampu membalik kenestapaannya sehingga mampu menjadi sosok sukses dan mandiri tanpa harus bergantung pada pemerintah atau lainnya. 

Dan, pada gilirannya bahkan mampu menyokong negara menciptakan lapangan kerja dan usaha baru, memasifkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat miskin, desa dan marjinal lainnya.  

Selain kucuran insentif bagi karyawan dan perintis usaha, maka kemudian pada kesempatan mendatang, tak kalah pentingnya pemerintah juga menjulurkan insentif bagi pegawai honorer K2 bahkan yang sudah lolos PPPK, kemudian kaum disabilitas maupun para PSK sekalian. 

Indonesia tak akan miskin kala mengalirkan arus insentif padanya. Pemerintah bukan David Coperfield atau Bandung Bondowoso yang mampu menggubah sukses simultan dalam sekejap atau semalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun