Menjadi ASN nampaknya masih menjadi diola sebagian milenial kita. Â Calon besan calon mertua pun rupanya beroleh mantunya seorang ASN. Tak sedikit ASN yang punya rekening gendut, ada pula ASN yang tetap sederhana terpenting cukup. Ada juga lho ASN yang acap mendapatkan apresiasi atas kinerjanya yang dianggap produktif, tapi pada bangku lainnya tetumpukan ASN bercap non produktif bersiap menghela jalan ke ruasan pedesaan.Â
Desa sekarang itu mendapat perhatian atau sedang menjalani nasib semata. Selain bantuan covid-19, sebentar lagi desa akan dikirim juga para aparatur sipil negara (ASN) yang punya catatan tidak atau non produktif. Desa barangkali menjadi titik-titik tujuan yang diinginkan pemerintah. Tapi kiriman yang disebut terakhir di atas, akankah membuat desa ketularan ketidakproduktifannya atau sebaliknya mampu membaliknya.Â
Mungkin, ASN non produktif ini nantinya akan mendapatkan suasana baru, lingkungan baru bahkan spirit baru dengan harapan baru tentunya
Kita paham, ide Menpan dan RB, Tjahyo Kumolo berencana mengirim tak kurang 1,6 juta ASN administrasi pusat ke desa. Langkah itu bukan agenda pesiar atau benchmarking, tapi memang lebih menyelamatkan posisi para ASN, meski harus memanggul beban psikologis dicap sebagai orang-orang yang tidak produktif.
Suka tak suka, itulah konsekuensi logis atas regulasi yang diambil pemerintah dan ketetepan ini menjadi bagian pengabdian kita sebagai ASN sekaligus merupakan sebentuk nasionalisme.Â
Barangkali lagi upaya mendesakan ASN ini agar mereka lebih berwarna dengan ke-Indonesia-annya, sehingga bisa menyelami kehidupan desa apalagi di tengah pandemi covid-19 ini, sekaligus menjadi cara kita menerjemahkan nilai loyalitas pada negara.
Barangkali yang harus menjadi cacatan kita, yaitu jangan sampai kepindahan ASN pusat ke desa ini masih hanya dipandang sebelah mata. Artinya ketika ASN yang diboyong ke desa ini masih dalam kondisi ketidakproduktifannya. Pengiriman ASN pusat ke desa semestinya tetap menjulurkan nilai tambah bagi ASN yang bersangkutan dan desa penerima. Kita ingin, ASN yang kebetulan kinerjanya kurang baik nasibnya bisa berubag menjadi lebih baik saat dipindahkan atau berada di desa.
Namun, agenda diturunkannya ASN ke desa ini diakui atau tidak, akan menerbit sedikit rasa cemburu di kalangan pegawai di wilayah desa-desa, karena harapannya posisinya entah dia honorer maupun sudah berstatus ASN di sana. Hal ini tentu berdampak pada pola karier ASN di desa yang meski sudah berkiblat pada kinerja dan prestasi, namun dengan hadirnya para migran baru yang bernama ASN pusat ini tentu akan menjadi bahan evaluasi bagi kita semua sekurangnya ada pengkajian ulang atas kesempatan dan peluangnya.
Mencermati kondisi demikian, maka kemudian penting bagi kita menyiapkan desa untuk mengkonstruksi bagaimana caranya desa dan atau institusi terkait mampu membalik para ASN non produktif ini ke aras produktif. Namun demikian, sesungguhnya ada pertanyaan yang menyisa di sini, yakni jika sudah dianggap tak produktif, tak Cuma desa yang harus kepradah (memenerima dan mesu budi), bisa juga di kleurahan atau kota-kota pinggiran.
Pantas dicermati, para ASN yang tak laku tersebut barangkali sudah ditawarkan ke Kementerian/lembaga induk penanggungjawabnya. Jika sudah demikian, dan tak ada yang meminangnya, maka memang nasib desa harus puas menerima ASN sisa-sisa atau afkiran yang telah lebih dulu dipilih-pilih mana ASN yang masih bisa ditempatkan di pusat, dan selebihnya harus di "desa"-kan.
Barangkali akan lebih fair, ketika sebelumnya desa juga ditawari, desa butuh atau tidak dengan ASN residual ini. Jika tidak, mengapa juga desa yang harus menerima ASN tak berkualitas ini. Kenapa tidak juga di tempat lain, misalnya. Di sini, penting rupanya ada pemetaan lebih dulu kebutuhan atas ASN yang superprioritas di desa.
Yang perlu ditegaskan, jangan sampai kiriman ASN low produktif ini berimpresi desa hanya sebagai lokus atau tempat pembuangan. Sehingga penting kiranya membekali ASN non produktif ini dengan beragam diklat yang relevan dengan jobdesk yang bakal diampu di wilayah pedesaan nanti, misalnya profesi guru atau penyuluh pertanian, dll. Dengan demikian, masih relevankan model sertifikasi dalam konteks ini.
Kita tak ingin dropping para ASN pusat ini kelabakan di desa "baru," dengan stigma tak produktif melekat secara kontinyu. Kita sungguh ingin menghapus label tak produktif tersebut yang secara psikologis menjadi beban moral bagi ASN ini juga desa nantinya.
Punishment dan Reward
Untuk itu, mesti dibenahi pola pembinaan dan karier yang jelas. Artinya, sepertinya semakin seseorang bertahan dalam satu pekerjaan tertentu selain muncul kebosanan, juga tak sehat bagi karier seseorang. Karena makin lama di zona nyaman, maka ia akan berpotensi melakukan disintegritas.
Kemudian, ketika ada ASN yang kinerjanyan buruk dan atau tidak produktif, sejatinya yang mesti dibuka adalah kinerja institusi terkait tersebut. Mestinya tak ada ASN non produktif, bagaimana seseorang berlomba mengisi waktu bukan membunuh waktu, bagaimana ASN bukan sibuk mencari tambahan penghasilan tapi terdapat jaminan kesejahteraan yang sepadan. Bagaimana lembaga mampu mengusung job-job yang menggembirakan dan ada tantangan.
Model punishment dan reward barangkali perlu diotimalkan, bagaimana nilai intistusi mengubah non produktif ke produktif, dari apatis menjadi kreatif, dari involusi menjadi inovasi, dll. Ini bagian PR kita merepair ASN lemah ini menjadi gagah dalam kesahajaan.
Kita tak ingin desa hanya menjadi tempat mengeja salah, menimba pundi-pundi yang tak produktif. Barangkali ke depan, desa jauh akan lebih senang kala didropping ASN yang bermutu. Artinya, secara pengetahuan, ketrampilan dan sikapnya layak menjadi panutan dan sebagai salah satu sumber belajar di desa. Selain itu, kiriman ASN ini juga harus berkemampuan membawa virus dan vaksin perubahan produktif bagi desa dan kedesaan. Â Desa mesti lebih bercahaya ketimbang Jakarta. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H