Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Kita yang Tidak Percaya Diri

29 Juli 2020   18:21 Diperbarui: 26 Agustus 2020   08:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia pendidikan kita kian hari kian jauh dari ibu kandungnya, yaitu masyarakat dengan setumpuk harapannya. Dulu ada  sekolah RSBI (sudah closing beberapa tahun silam), kelas akselerasi (juga sudah diaborsi), sekolah favorit dan pinggiran. Semua itu hanya menciptakan kelas-kelas sosial baru, atau kokohnya monumen-monumen kampus yang berlabel kerakyatan tapi tetap menggerus biaya pendidikan tetap mahal di era perguruan tinggi berbadan hukum, atau lagi tanpa diberlakukannya ujian nasional. Dengan kata lain bahwa yang menentukan kelulusan hanya guru atau sekolah, bukan angka akademik, sikap maupun psokomotor.

Pada belahan lain, soalan purba dan klasik, masih terdapat riak-riak kecil pada ranah pendidikan di level bawah, yaitu menyangkut teknologi informasi (TI) yang telah menjadi salah satu penanda kemajuan zaman, karena TI itu cukup signifikan dalam memberi kemudahan, efisiensi dan simple bahkan sudah merambah sebagai gaya hidup, salah satunya adalah handphone (HP). Barangkali nyaris semua sekolah melarang anak-anaknya ber-HP ria.

Perangkat TI yang disebut terakhir itu sudah akrab di kalangan anak-anak SD, baik di kota dan pedesaan. Sejak sangat awal barangkali orangtua membekali HP bagi anak-anaknya ke sekolah sederhana saja, biar mudah dihubungi dan dikontrol. 

Namun demikian, beberapa sekolah secara terang-terangan melarang keras anak-anaknya membawa dan menggunakan teknologi tersebut di lingkungan sekolah. Alasan yang tidak logis dan berkesan dibuat menyaru dalam gelombang protes anak-anak dan orangtua/walimurid.

Pihak guru atau sekolah berkilah, jika lembaganya ingin melindungi anak didiknya dari sergapan komoditas yang belum boleh dikonsumsi usia anak-anak sekolah, seperti gambar-gambar adegan seks.  

Atmosfer demikian kian mengeras di sejumlah sekolah, ketika merebak kasus-kasus gambar-gambar terlarang di-up load pada HP. Ingat kasus-kasus anggota dewan, artis-selebriti dan sequel-sequel "blue," nya pelajar dan mahasiswa juga adegan-adegan kekerasan dan atau tawuran yang jauh dari ruh pendidikan.

 Di satu sisi, anak-anak kita dorong cakap dalam mengelola diri dengan kemajuan TI tidak gagap teknologi (gaptek), melalui internet di HP, anak-anak bisa mengunduh dan atau membuka rupa-rupa pengetahuan dan wawasan baru dan konstruktif, meskipun di telapak lain juga ada sisi negatifnya.

Dengan razia, menyita HP anak-anak, setidaknya kita telah memberangus dan mengerdilkan perkembangan anak-anak. Sesungguhnya tidak perlu khawatir dan ketakutan yang tidak berdasar. Anak-anak kita bukan saja cerdas tetapi cukup pintar menyeleksi, mana yang baik dan buruk.

 Terpenting kita berikan kepercayaan kepadanya secara proporsional. Jika memang demikian, sudah menjadi bagian tanggungjawab kita untuk selalu mendampingi dalam aspek luas ketika anak-anak memanfaatkan TI itu.

Satu hal yang tidak layak dilakukan pihak sekolah atau guru, atau tepatnya guru bimbingan dan konseling yang acap merazia HP anak-anak di sekolah dengan kekhawatiran seperti disebut terdahulu. Payahnya lagi, guru-guru yang menyita HP tersebut kerap menyimpannya di tempat khusus atau bahkan dibawa pulang.

Keanehan semakin menggenang manakala, pada saat tertentu pihak orangtua/wali murid menghubungi anak-anaknya lewat HP, tidak tersambung dan menebalkan gundah dan sedikit gusar. Hebohnya lagi, lagi, guru yang bertanggungjawab atas HP tersebut tidak masuk atau dinas luar ataupun sudah pulang lebih awal ketimbang anak-anak. Hal ini menambah gemas orangtua/wali murid, dan menaikkan tensi cemas dan pikiran-pikiran buruk lainnya.

Ya, kalau orangtua/walimurid ada waktu untuk menjemput pulang anak-anaknya, tapi jika tidak, akan menyuruh taksi atau ojek untuk menjemput putra-putrinya pulang dari sekolah. Ini juga tentu menambah cost bagi anak-anak. 

Atau lagi, jika sekolah memulangkan anak-anaknya pulang awal ketika ada kegiatan atau event penting yang harus mengakhiri jam pelajaran maju ketimbang regular. Ya, kalu tak terjadi apa-apa, tapi kalau ada kejadian apa-apa yang tak diinginkan, siapa yang mau "ndhadhani?"

Boleh-boleh saja pihak sekolah memberlakukan aturan anak-anaknya tidak boleh membawa HP ke sekolah dan jika terbukti kedapatan saat razia, maka cukuplah HP di tangan guru yang bersangkutan selama proses belajar mengajar atau kegiatan belajar mengajar berlangsung. Dan ketika selesai sesinya, maka HP dipulangkan ke kantyong anak lagi.

Lemah, Takut atau Sayang

Jika pihak sekolah ingin menegakkan peraturan, sah saja, tetapi cara-cara atau pengalaman seperti di atas harus segera diakhiri. Konsekuensi pihak sekolah harus mengkonkret ketika genderang aturan ditabuh, maka Sekolah harus menyediakan sarana prasarana pengganti HP anak-anak yang sangat terpaksa tidak bisa dimanfaatkan itu dengan merelakan telepon sekolah untuk lalu lintas komunikasi dari dan ke orangtua/walimurid juga anak-anak mereka secara gratis. Itu artinya, budget telpon sekolah membengkak dan harus dicari jalan keluarnya juga.           

 Jika tidak, bersiaplah menyambut gelombang aduan orangtua/wali murid, dan menyaksikan anak didik kehilangan gairah belajar atau sebaliknya dicecar ketakutan dengan guru atau sekolah yang mengebiri terbuka pengetahuan, sikap dan keterampilan anak-anak dari dunia luar sekolah atau lambat laun ditinggalkan pelanggan (calon muridnya).

Itukah malpraktek  pembangunan di bidang pendidikan? Lalu, pendidikan kita, siapa yang tidak percaya diri : anak-anak atau guru (sekolah)? Sejak awal kita dintrodusir dengan menjadi anak yang genial (riang dan berani), sekurangnya atas kemajuan informasi dan teknologi, termasuk gadget, Tapi kala bersekolah tak boleh mengantonginya. Itu hanya permukaan, dan kini kala daring diberlakukan, acap kita gagap memaknai IT.

Tak punya kuota internet, tak memiliki HP, susah menangkap sinyal atau rumahnya belum beraliran listrik. Ini juga menaikkan problematic kita juga hari ini. Mari bebesar hati. Mengapa guru, sekolah lemah bahkan takut  (atau saying) dengan benda mati yang bernama handpone di tangan anak-anak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun