Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Kita yang Tidak Percaya Diri

29 Juli 2020   18:21 Diperbarui: 26 Agustus 2020   08:07 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ya, kalau orangtua/walimurid ada waktu untuk menjemput pulang anak-anaknya, tapi jika tidak, akan menyuruh taksi atau ojek untuk menjemput putra-putrinya pulang dari sekolah. Ini juga tentu menambah cost bagi anak-anak. 

Atau lagi, jika sekolah memulangkan anak-anaknya pulang awal ketika ada kegiatan atau event penting yang harus mengakhiri jam pelajaran maju ketimbang regular. Ya, kalu tak terjadi apa-apa, tapi kalau ada kejadian apa-apa yang tak diinginkan, siapa yang mau "ndhadhani?"

Boleh-boleh saja pihak sekolah memberlakukan aturan anak-anaknya tidak boleh membawa HP ke sekolah dan jika terbukti kedapatan saat razia, maka cukuplah HP di tangan guru yang bersangkutan selama proses belajar mengajar atau kegiatan belajar mengajar berlangsung. Dan ketika selesai sesinya, maka HP dipulangkan ke kantyong anak lagi.

Lemah, Takut atau Sayang

Jika pihak sekolah ingin menegakkan peraturan, sah saja, tetapi cara-cara atau pengalaman seperti di atas harus segera diakhiri. Konsekuensi pihak sekolah harus mengkonkret ketika genderang aturan ditabuh, maka Sekolah harus menyediakan sarana prasarana pengganti HP anak-anak yang sangat terpaksa tidak bisa dimanfaatkan itu dengan merelakan telepon sekolah untuk lalu lintas komunikasi dari dan ke orangtua/walimurid juga anak-anak mereka secara gratis. Itu artinya, budget telpon sekolah membengkak dan harus dicari jalan keluarnya juga.           

 Jika tidak, bersiaplah menyambut gelombang aduan orangtua/wali murid, dan menyaksikan anak didik kehilangan gairah belajar atau sebaliknya dicecar ketakutan dengan guru atau sekolah yang mengebiri terbuka pengetahuan, sikap dan keterampilan anak-anak dari dunia luar sekolah atau lambat laun ditinggalkan pelanggan (calon muridnya).

Itukah malpraktek  pembangunan di bidang pendidikan? Lalu, pendidikan kita, siapa yang tidak percaya diri : anak-anak atau guru (sekolah)? Sejak awal kita dintrodusir dengan menjadi anak yang genial (riang dan berani), sekurangnya atas kemajuan informasi dan teknologi, termasuk gadget, Tapi kala bersekolah tak boleh mengantonginya. Itu hanya permukaan, dan kini kala daring diberlakukan, acap kita gagap memaknai IT.

Tak punya kuota internet, tak memiliki HP, susah menangkap sinyal atau rumahnya belum beraliran listrik. Ini juga menaikkan problematic kita juga hari ini. Mari bebesar hati. Mengapa guru, sekolah lemah bahkan takut  (atau saying) dengan benda mati yang bernama handpone di tangan anak-anak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun