Sampah hingga sekarang acap dituding sebagai biang masalah lingkungan. Sampah sendiri sebenarnya bukan masalah, Ia menjadi masalah kala manusia tak bisa mengelola sampah secara baik. Padahal banyak nilai tambah dari sampah yang selama ini terbiar. Ya ekonomi, ya energi juga lingkungan hidup kita.
Menyoal sampah memang komplek. Dari kebutuhan sehari-hari masyarakat saja, akan menghasilkan banyak sekali sampah. Apalagi, di era modern ini penggunaan alat elektronik tidak terelakkan. Hampir setiap aktivitas kita tidak terlepas dari peralatan elektronik seperti penanak nasi (rice cooker), blender, dispenser, kulkas, mesin cuci, AC, kipas angin, televisi, komputer, laptop, handphone, dan masih banyak lagi.
Masifnya pembelian produk elektronik ini akan terus meningkat dari waktu ke waktu seiring tuntutan modernitas, kebutuhan yang semakin kompleks, dan aspek kepraktisannya. Namun, tanpa kita sadari, perilaku ini akan meningkatkan jumlah sampah, yang populer disebut dengan electronic waste (e-waste).
Barangkali kita tidak tahu atau bahkan tidak peduli sampah elektronik ini mau dibuang ke mana. Padahal di dalam produk elektronik mengandung komponen-komponen yang ber-bahaya bagi lingkungan dan termasuk kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), seperti merkuri, timbal, kromium, arsenik, dan lain-lain.
Suka tak suka, sampah ini juga membutuhkan lahan, meskipun saat ini sudah ada beberapa Tempat Pembuangan Akhir (TPA), namun kapasitasnya tidak seimbang dengan produksi sampah setiap hari. Oleh sebab itu, pengelolaan sampah ini harus dikembangkan. Sampah tidak hanya dibuang tetapi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain.
Kita merujuk acuan 3 R, yaitu Reduce, Reuse dan Recycle. Reduce berarti mengurangi sampah, Reuse berarti memanfaatkan kembali sampah, seperti menggunakan sampah botol kaca untuk keperluan lain, serta Recycle berarti mendaur ulang, atau mengolah sampah menjadi barang lain yang lebih bermanfaat.
Utamnya daur ulang inilah konsep kreativitas perlu dikembangkan. Kantong plastik, bungkus rokok, bungkus permen, sedotan dan masih banyak lagi bisa diolah menjadi tas, hiasan, lantai rumah, dan sebagianya. Bahkan dari sampah organik bisa berubah menjadi pupuk organik dan laku dijual.
Badan Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pemerintah secara umum di daerah juga memfasilitasi pendampingan kreativitas masyarakat dalam mengelola atau mendaur ulang sampah pada UMKM binaan.
Lewat intervensi tersebut bisa dikembangkan pola inovasi dan kreativitas dalam mengubah sampah menjadi indah dan bernilai ekonomis. Langkah seperti ini jangan sampai terputus. Warga yang telah diedukasi, harus mampu menjadi agen perubahan yang menularkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan positifnya kepada lingkungan, minimal pada tataran keluarga.
Kita ingin, itu semua menjadi sebuah langkah cerdas, karena perilaku yang baik dan benar harus ditumbuhkan sejak dini. Dengan demikian, seluruh warga beramai-ramai melakukan 3R, sehingga selain turut menjaga kualitas lingkungan hidup, masyarakat juga lebih berdaya dan meningkat kesejahteraannya.
Siti Nurbaya Bakar sebagai Menteri LHK menaksir timbunan sampah di Indonesia tahun 2020 sebesar 67,8 juta ton. Kelihatannya akan terus bertambah seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan dengan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan (detiknews.com, 9/6/2020).
Kemurungan ini sekurangnya menjadi titik tolak baru pemerintah bersama masyarakat membangun pengelolaan sampah menuju Indonesia Bersih, Indonesia Maju dan Indonesia Sejahtera.
Pengelolaan sampah sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang menjadi PR kita bersama. Banyak daerah yang saat ini masih menggunakan metode Penimbunan (Land Fill) dalam mengelola sampah di daerahnya.
Konsekuensinya metode tersebut lahan yang dibutuhkan sangat luas, proses pengurangan sampah sangat lambat, menghasilkan cairan yang dapat mencemari air disekitarnya dan menghasilkan gas metana yang berpotensi membahayakan lingkungan sekitar.
Setaik nafas dengan kemajuan teknologi, pengelolaan sampah yang lebih baik dan mampu meminimalisir efek samping sampah, bahkan mampu menghasilkan output yang bermanfaat serta mempunyai nilai ekonomis. Dengan menggunakan sistem pengolaan sampah Refuse Derived Fuel (RDF) ini, selain membutuhkan lahan yang sedikit dan fleksibel, proses penguraian sampahnya juga sangat cepat.
Alternatif Sumber Energi
Pabrik semen PT Solusi Bangun Indonesia, yang dahulu bernama PT Holcim telah siap sampah menjadi briket berlokasi di Cilacap. Briket yang dihasilkan dari sampah cukup bagus, dan dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti batu bara.
Korporasi pengolahan sampah RDF ini sudah melakukan trial dan hasilnya cukup bagus, dengan hasil uji coba briket ini memiliki kapasitas 3000-4000 kalori. Setelah proyek ini diresmikan, kami siap menampung sampah dari Cilacap dan mengubahnya menjadi briket untuk keperluan bahan bakar perusahaan.
Dengan mesin hibah dari pemerintahan Denmark yang digunakan saat ini, pihaknya mengatakan mampu menampung 150 ton sampah perhari untuk dibuat briket. Bahkan jika dioptimalkan, perusahaannya bisa menampung sekitar 500-600 ton sampah perhari. Bahkan jika nanti bisa menambah alat lagi, perusahaan kami bisa menampung 1000 ton sampah perhari. Tentu ini akan mengatasi persoalan sampah di daerah.
Sebenarnya ada dua proyek besar di Jateng yang fokus dalam hal pengolahan sampah. Pertama adalah proyek pengolahan sampah menjadi gas metan di Semarang dan kedua pengolahan sampah menjadi briket di Cilacap. Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo menegaskan, apabila proyek pengolahan sampah menjadi briket di Cilacap ini berhasil, maka pihaknya akan membuat replikanya di sejumlah daerah lain.
"Kalau ini sudah jalan dan hasilnya bagus, kelak harapan kami bisa lebih besar lagi. Dan ada peluang bagi PLTU di Jateng untuk menggunakan produk briket dari sampah ini, sehingga nanti pengolahan sampah bisa lebih optimal di Jateng," tegasnya.
Patut dicatat, pengolahan sampah RDF juga tidak menimbulkan limbah cair karena sampah organik habis dibakar. Fasilitas RDF ini diprediksi mampu mengolah sampah sebanyak 150 ton per hari. Output-nya dari sistem pengelolaan sampah RDF ini adalah 30-40 ton briket yang merupakan bahan penganti batu bara. Tidak hanya itu, sistem RDF ini juga mampu menurunkan emisi sebanyak 19.000 ton CO2e dan juga menurunkan emisi gas metana.
Konsekuensi atas biaya dibutuhkan untuk membangun pengolahan sampah berbasis RDF ini besar, tapi hal ini tentu sebanding dengan apa yang kita dapatkan. Ke depan saya minta seluruh stakeholder yang ada, khususnya perusahaan swasta juga bisa turut ambil bagian, paling tidak dengan ikut menggunakan briket hasil RDF ini sebagai pengganti batu bara. Ini sebenarnya potensinya besar karena banyak industri dan PLTU di Indonesia yang masih memakai batu bara sebagai sumber energinya. Semoga pengelolaan sampah RDF Jateng ini mampu menjadi pioneer daerah lain dan inovasi seperti inilah yang harus terus kita lakukan dan kembangkan bersama dalam mengatasi berbagai problematic. Harap maklum, minyak kita akan habis beberapa tahun ke depan, maka  sumber energi sampah ini bisa menjadi alternatif sumber energi baru.Â
Harapannya ke depan, mudah-mudahan selain pengelolaan sampah pengganti batubara buat pabrikan, juga menghasilkan briket batubara untyuk masyarakat dengan tarif terjangkau. Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI