23 Juli 2020 menjadi hari teristimewa bagi kalangan anak-anak di negeri ini, karena kita merayakan hari anak nasional (HAN).
Bicara HAN sesungguhnya bukan hanya menyoal pemenuhan hak-hak anak. Tapi menjadi ruang refleksi bahkan komptemplasi, apa yang telah, sedang dan akan kita lakukan buat anak-anak kita?
Merujuk Keputusan Presiden 36/1990 Tentang Pengesahan Convenion on The Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak Anak), hak-hak anak meliputi hak untuk mendapatkan identitas, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk mendapatkan akses kesehatan, hak untuk bermain, berekspresi, hak untuk mendapatkan kesamaan, dan hak untuk berperan dalam pembangunan.
Kita mahfum, rasanya tak ada orangtua atau keluarga yang tidak ingin memenuhi hak-hak buah hatinya. Namun, angka-angka statistik kemiskinan masih menyergap harapan kita untuk membawa anak-anak kita bisa bersenyum lebar, percaya diri, riang dan punya karakter.
Angka Murung
Deretan kemiskinan menjelma di kota maupun desa. Anak-anak karung acap kita jumpai di ruas jalan protokol, anak penjaja mimpi dapat kita temukan di warung-warung remang-remang di wilayah pheri-peri, di pinggiran rel kereta, atau di rumah-rumah kardus yang menyelinap di moleknya lelampu taman.
Di bantaran sungai juga di bawah jembatan konvensional pun flyover mereka coba memberi makna atas jalan nasibnya.
Sementara di ufuk desa, anak-anak keluarga miskin pun harus tegar memerankan dirinya sebagai tulang punggung keluarga, karena orangtuanya telah tiada dan atau akibat keturunan dari kakek-neneknya hingga ayah-ibunya memang bermuasalh dari keluarga melarat (miskin).
Seluruh orangtua di dunia selalu bermimpi, anak-anaknya berkecukupan, berpendidikan, bekerja mapan bahkan mampu melampaui profesi orangtuanya. Intinya, anak harus lebih baik kehidupannya ketimbang ayah-ibunya.
Problematik anak-anak tak cuma milik anak-anak miskin, anak-anak kaya pun nampaknya juga menghadapi permasalahan yang tak kalah pelik, meskipun substansinya lain. Jika secara ekonomi kelompok orang berduit ini tak ada kendala dalam menghela hidup anak-anaknya.
Yang menjadi krusial yakni ketika anak-anak berlatarbelakang "kurang mampu," ini orangtua atau keluarganya belum berkemampuan memberikan perhatian secara utuh.
Selama ini kita tahu pemerintah telah berbuat banyak bagi masa depan anak-anak, terutama mereka yang berasal dari keluarga "minus."
Ada dana BOS, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Beasiswa, dana Bos, Bantuan Siswa Miskin (BSM), Bidik Misi, Beasiswa hingga doktoral lewat LPDP.
Kemudian pendidikan gratis segratis-gratisnya sistem boarding school seperti di SMKN Jateng, dll. Itu semua sekurangnya membantu keluarga miskin untuk menjulangkan cita-cita anak-anaknya setinggi langit.
Di luaran, problema anak-anak ini semakin menjadi-jadi. Tak jarang kita dipertemukan dengan kelompok anak-anak yang kurang beruntung.
Mereka anak-anak yang hampir sekujurnya dimuntahkan di jalanan bersama raungan motor dan yel-yel geng berikut egonya, di aras lain kita menjumpai pula anak-anak yang berkeliaran di asuh preman terminal, stasiun kereta, dll.
Pendeknya anak-anak ini nampaknya lebih senang dan puas bersama panasnya uap jalanan, lebih asyik masyuk bersama dinginnya malam bahkan mereka ini jauh lebih bahagia dan bangga dalam asuhan anak rembulan.
Pada lingkaran demikian barangkali dianggap tersyahdu bagi ukuran anak-anak ini. Karena dalam ingatan mereka di sini lebih ekspresif, bebas sebebas-bebasnya hingga acap terlibat dalam ekonomi underground, seperti perdagangan narkoba, kriminalitas, free sex, dll.
Miris, hampir setiap hari media kita memunguti berita anak yang menjadi aktor kekerasan maupun sebaliknya sebagai korban kekerasan.
Rupanya kita belum bisa fair dalam menyikapi kekerasan ini. Kita acap lebih peduli, caring terhadap anak korban kekerasan, sementara anak-anak pelaku kekerasan lagi-lagi acap harus menanggung beban derita di penjara anak-anak sendirian.
Karena yang disebut terakhir ini sudah bikin malu keluarga, dan bahkan kadang sampai tak pulang berhari-hari, hilang bahkan sampai meninggal pun tak dicari di mana rimbanya.
Memang secara frontal berbagai kemurungan terjal yang menindih anak-anak tersebut lebih pada kegagalan orangtua dalam mengedukasi para generasi penerusnya ini.
Tapi, di sini bukan waktunya dan bukan saat yang tepat untuk menghakimi para pengasuh anak-anak Indonesia ini.
Di sini jauh lebih arif kala kita dengan penuh kerelaan mawas diri, kemudian berkomitmen mengedukasi anak-anak dengan cara-cara yang menyenangkan, tak memaksa, tidak menggurui bahkan tidak menuntut.
Jadi, sangat tidak pada tempatnya saat orangtua sekarang ini masih rebut menanyakan ranking anak-anaknya di kelas atau di sekolahnya, orangtua yang gaduh dengan piala maupun sertifikat lomba putra-putrinya atau orangtua yang selalu berambisi menuntut anak-anaknya menjadi best and first, apapaun, kapanpun.
Bahkan ada juga orangtua yang memaksa anak-anaknya memasuki dunia yang tak diminati anak-anaknya.
Transformasi
Sekali lagi, anak merupakan awal mata rantai manusia yang sangat menentukan wujud dan kehidupan suatu bangsa di masa depan.
Refleksi dalam koridor HAN kali ini, yang masih perlu diperjuangkan dan direalisasikan oleh orangtua, selain perlu membekali anak-anak kita dengan keimanan, kepribadian, kecerdasan dan keterampilan, kita juga perlu mendengar pen-dapat dan pandangannya.Â
Mustahil kita mengupayakan kesejahteraan anak tanpa men-dengarkan secara langsung apa saja yang mereka butuhkan. Penghargaan terhadap pandangan anak niscaya akan menumbuhkan jiwa dan semangat menghormati, menghargai dan juga cinta terhadap bangsa.
Sehingga, anak-anak kita dapat menjadi manusia yang berpengetahuan, berkarakter, dan berketuhanan.
Yang tidak kalah penting, anak-anak juga harus dibekali tentang cara-cara pencegahan sejak dini dan melindungi diri dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual, karena kita tidak akan mungkin setiap detik berada di sampingnya.
Hal paling mudah yang dapat dilakukan sejak dini pada anak adalah dengan mengenalkannya pada jenis-jenis sentuhan yang boleh/tidak boleh dilakukan orang lain kepadanya.
Misalnya, sentuhan boleh adalah sentuhan seseorang pada kepala, tangan dan kaki. Sentuhan tidak boleh adalah sentuhan pada bagian badan yang tertutup baju dalam atau yang menyebabkan rasa tak nyaman. Berhati-hati menerima pemberian dan harus berani bercerita jika ada perlakuan membuat anak-anak merasa tidak nyaman. Katakan "tidak," berlari menghindar, dan harus berani melaporkan ke orangtua atau guru.
Di luar itu semua, nampaknya melibatkan anak-anak pada forum musyawarah pembangunan pun sudah menjadi amanat regulasi kita. Dengan begitu, blusukan bersama anak, dialog dan sarasehan bersama anak, Kades/Camat dan Kepala Daerah, Menteri bahkan Presiden mengajar di sekolah-sekolah formal maupun non formal dengan anak-anak.
Harapannya, dapat menjadi jembatan akademik bagi anak untuk berani berpendapat dan aspirasinya kepada para pengambil kebijakan dalam suasana yang lebih menyenangkan untuk anak.
Semoga HAN hari ini akan membawa pemangku kepentingan tidak alergi dan apriori bahkan membuka diri untuk berdialog tentang apapun bersama anak-anak Indonesia.
Suara yang keluar dari mulut anak-anak agar tidak menjadi dokumen belaka, tapi benar-benar dapat diaktualisasikan pemerintah, masyarakat dan anak-anak itu sendiri untuk bersama-sama mewujudkan lingkungan yang layak bagi anak, ramah untuk anak.
Langkah sederhana ini sekurangnya membuat langit anak-anak lebih berkilau dan percaya diri memanggul masa depannya.
Akhirnya, I hear I forget, I see I remember, I do I understand. Inilah transformasi sederhana buat Klitih, Cokor, all star, anak-anak jaman, anak-anak kita juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H