Tapi, di sini bukan waktunya dan bukan saat yang tepat untuk menghakimi para pengasuh anak-anak Indonesia ini.
Di sini jauh lebih arif kala kita dengan penuh kerelaan mawas diri, kemudian berkomitmen mengedukasi anak-anak dengan cara-cara yang menyenangkan, tak memaksa, tidak menggurui bahkan tidak menuntut.
Jadi, sangat tidak pada tempatnya saat orangtua sekarang ini masih rebut menanyakan ranking anak-anaknya di kelas atau di sekolahnya, orangtua yang gaduh dengan piala maupun sertifikat lomba putra-putrinya atau orangtua yang selalu berambisi menuntut anak-anaknya menjadi best and first, apapaun, kapanpun.
Bahkan ada juga orangtua yang memaksa anak-anaknya memasuki dunia yang tak diminati anak-anaknya.
Transformasi
Sekali lagi, anak merupakan awal mata rantai manusia yang sangat menentukan wujud dan kehidupan suatu bangsa di masa depan.
Refleksi dalam koridor HAN kali ini, yang masih perlu diperjuangkan dan direalisasikan oleh orangtua, selain perlu membekali anak-anak kita dengan keimanan, kepribadian, kecerdasan dan keterampilan, kita juga perlu mendengar pen-dapat dan pandangannya.Â
Mustahil kita mengupayakan kesejahteraan anak tanpa men-dengarkan secara langsung apa saja yang mereka butuhkan. Penghargaan terhadap pandangan anak niscaya akan menumbuhkan jiwa dan semangat menghormati, menghargai dan juga cinta terhadap bangsa.
Sehingga, anak-anak kita dapat menjadi manusia yang berpengetahuan, berkarakter, dan berketuhanan.
Yang tidak kalah penting, anak-anak juga harus dibekali tentang cara-cara pencegahan sejak dini dan melindungi diri dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual, karena kita tidak akan mungkin setiap detik berada di sampingnya.
Hal paling mudah yang dapat dilakukan sejak dini pada anak adalah dengan mengenalkannya pada jenis-jenis sentuhan yang boleh/tidak boleh dilakukan orang lain kepadanya.