Sudah bukan zamannya pelajar apalagi yang masih baru ini hanya takut atau bergantung kepada kakak kelas, tugas sekolah atau modul belajar belaka.Â
Kutu buku tidak salah, tetapi menjadi predator buku jauh lebih bermakna jika ingin menjadi penulis, misalnya. Menjadi manusia bergantung, hanya akan akan membuat pelajar bebal, seperti kepompong yang tak tahu mana arah mata angin.
Ketergantungan ini rasanya terus merembet, seperti bergantung pada guru, bergantung pada walikelas atau bergantung dan suka pada produk luar.Â
Gerakan swadesi yang dijulurkan Gandhi waktu itu melempem, menjelma generasi follower yang menjadi iklan berjalan bagi produk kesohor.Â
Pelajar harus memulainya, menjadi agen dan aktor yang memelopori hal itu. Gerakan pemakaian produk lokal setidaknya dapat didorong dan digerakkan dari MPLS. Inilah nasionalisme dan cinta tanah air dalam tafsir lain.
Peran besar pelajar sebagai bagian aktor dan sentral pembangunan selalu dinanti aksinya oleh masyarakat sebagai agen perubahan dan agen pembaruan disegenap lini.Â
Pelajar bukan Bandung Bondowoso, tetapi sekurangnya berkemampuan melakukan transformasi sosial kultur masyarakat. Inilah transformasi sesungguhnya pada level grassroots.Â
Namun demikian, pelajar juga bukan Malinkundang, Zoro atau Robin Hood dalam paradigma sekarang. Ini juga menjadi bagian dari pesan moral MPLS dalam kekinian.
MPLS akan bermakna dan dikenang, ketika kegiatan itu menjelma menjadi perilaku bukan even semata. Jika hanya sebatas even, maka selesai MPLS usai bubar jalan apa yang menjadi konteks dan konten MPLS.
Lain, kalau MPLS sudah berubah menjadi perilaku, maka akan menginternalisasi dalam diri pelajar dengan segala romantic-nostalgiknya baik dari sisi wawasan, leadership maupun character building yang ingin di-reshape, rethink dan rebuild.
Hal ini bukan bentuk kekhawatiran yang berlebihan terhadap perjalanan bangsa ini, tetapi kita harus melihat realitas sosial yang cukup merisaukan.Â