Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tahun Ajaran Baru: MPLS, Virus, dan Vaksin

14 Juli 2020   14:24 Diperbarui: 14 Juli 2020   20:31 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang siswa baru melewati bilik sterilisasi saat akan mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMK Negeri 2 Salatiga, Jawa Tengah, Senin (13/7/2020). Sebanyak 642 siswa baru mengikuti MPLS secara langsung dengan dua kelas program keahlian yang dilakukan bergilir dalam satu hari dengan tetap menerapkan protokol kesehatan COVID-19. (Sumber Foto: ANTARA FOTO/ALOYSIUS JAROT NUGRO)

"Sudah bukan zamannya pelajar apalagi yang masih baru ini hanya takut atau bergantung kepada kakak kelas, tugas sekolah atau modul belajar belaka."

Hari-hari ini beberapa sekolah tengah menyelenggarakan dan merenda kisah bersama murid baru lewat masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), meskipun dihelat tanpa tatap muka alias dilakukan secara virtual atau daring, yang penuh romantisme dan idealisme. 

Pelajar dan kaum muda selalu menjadi magnet dan motor yang menentukan nasib masa depan negeri ini. Masih ingat dengan Sumpah Pemuda 1928, Para Pahlawan kemerdekaan, gerakan reformasi 1998 dan siapa yang berada di baris terdepan yang selalu melawan korupsi?

Kaum muda. Di Jawa Tengah ada yang namanya duta integritas, mereka terdiri atas pelajar SMA-SMK yang tugasnya memberikan edukasi atau kampanye anti korupsi di lingkungannya dan kawan sebaya. 

Tentu kita juga merekam hangat banyak prestasi yang ditorehkan para pelajar kita untuk bangsa ini di bidang politik, sosial ekonomi, olahraga dan budaya serta lingkungan hidup. 

MPLS dengan sekolahnya menjadi rumah kedua, oase yang teduh bagi pelajar baru memulai bermimpi, menjejakkan dan menjulurkan buah kreasi sebagai mata uang universal, inovasi dan menciptakan pasar bagi ide-ide segarnya untuk turut terlibat membenahi persoalan bangsa yang masih menyengat.

Seperti kemiskinan, pengangguran, kesenjangan dan ketimpangan sosial. Selain itu, masih ada ancaman narkoba, radikalisme, terorisme dan intolerani maupun pandemi covid-19.

Lebih baik bermimpi ketimbang tak punya cita-cita. Inilah starting point, pintu pertama pelajar baru untuk mengejawantahkan cita-citanya. Sesungguhnya bukan soal sekolah di mana, tetapi lebih pada sekolah untuk apa.

Dulu jaman merebut kemerdekaan, ada persatuan perhimpunan pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Lantas, apa korelasinya dengan MPLS? MPLS sekurangnya mampu membuka mata, hati dan pemikiran membiakkan ranah-ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap maupun jiwa kebangsaan-nasionalisme kita.

Pintar dan IP tinggi saja tidak cukup, tetapi pelajar juga harus mampu mengembangkan sayap kepekaan sosial di tengah masyarakat. Harus dicamkan, MPLS harus terbebas dari segala bentuk rezim kekerasan. 

Sudah bukan zamannya pelajar apalagi yang masih baru ini hanya takut atau bergantung kepada kakak kelas, tugas sekolah atau modul belajar belaka. 

Kutu buku tidak salah, tetapi menjadi predator buku jauh lebih bermakna jika ingin menjadi penulis, misalnya. Menjadi manusia bergantung, hanya akan akan membuat pelajar bebal, seperti kepompong yang tak tahu mana arah mata angin.

Ketergantungan ini rasanya terus merembet, seperti bergantung pada guru, bergantung pada walikelas atau bergantung dan suka pada produk luar. 

Gerakan swadesi yang dijulurkan Gandhi waktu itu melempem, menjelma generasi follower yang menjadi iklan berjalan bagi produk kesohor. 

Pelajar harus memulainya, menjadi agen dan aktor yang memelopori hal itu. Gerakan pemakaian produk lokal setidaknya dapat didorong dan digerakkan dari MPLS. Inilah nasionalisme dan cinta tanah air dalam tafsir lain.

Peran besar pelajar sebagai bagian aktor dan sentral pembangunan selalu dinanti aksinya oleh masyarakat sebagai agen perubahan dan agen pembaruan disegenap lini. 

Pelajar bukan Bandung Bondowoso, tetapi sekurangnya berkemampuan melakukan transformasi sosial kultur masyarakat. Inilah transformasi sesungguhnya pada level grassroots. 

Namun demikian, pelajar juga bukan Malinkundang, Zoro atau Robin Hood dalam paradigma sekarang. Ini juga menjadi bagian dari pesan moral MPLS dalam kekinian.

MPLS akan bermakna dan dikenang, ketika kegiatan itu menjelma menjadi perilaku bukan even semata. Jika hanya sebatas even, maka selesai MPLS usai bubar jalan apa yang menjadi konteks dan konten MPLS.

Lain, kalau MPLS sudah berubah menjadi perilaku, maka akan menginternalisasi dalam diri pelajar dengan segala romantic-nostalgiknya baik dari sisi wawasan, leadership maupun character building yang ingin di-reshape, rethink dan rebuild.

Hal ini bukan bentuk kekhawatiran yang berlebihan terhadap perjalanan bangsa ini, tetapi kita harus melihat realitas sosial yang cukup merisaukan. 

Narkoba, radikalisme, terorisme, kriminal dan gerakan intoleran lain juga tidak sedikit yang mencaplok segmen pelajar. Perihal kecil namun berdampak besar ini patut menjadi autokritik dan bahan permenungan pemikiran dan perilaku pelajar. Hal-hal seperti ini nampaknya turut menjadi irisan dalam MPLS tahun ini.

Nilai Budaya Pasar

Peran-peran profetik rasanya masih relevan dalam membekali pelajar baru, sehingga hati dan jiwanya tidak keras, kering dan kurus dalam memecahkan setiap permasalahan di dalam dan luar sekolah. 

MPLS penting, tetapi terpenting adalah aktor dan spirit di dalamnya terus bergerak menuju warga yang berdikari dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. 

Di sini konten revolusi mental yang memiliki tiga pilar penting barangkali perlu diketengahkan agar pelajar selalu memegang teguh integritas, etos kerja dan gotong rotong. Apapun persoalan yang dihadapi, melalui pendekatan itu bukan tidak mungkin yang semula, "Impossible menjadi I'm possible.

Sekolah harus mampu meletakkan landasan yang kuat bagi makna kemerdekaan atau kebebasan yang seolah menjadi kalimat magis bagi pelajar. Dimensi Kebebasan memiliki makna sebagai "bebas dari", yaitu bebas dari penjajahan dan penindasan dalam aspek luas.

Dan, dimensi "bebas untuk", yaitu lebih bersifat menunjukkan kemandirian, kemampuan, dan kematangan menggunakan kebebasan itu sendiri.

Untuk menjadikan MPLS menjadi satu hal yang ditunggu oleh seluruh pelajar dan masyarakat.

Sebaiknya dalam perhelatan ini selalu kita sematkan nilai-nilai budaya pasar bagi pelajar dengan menyebarkan virus dan memberikan vaksin yang selalu membuat mereka mampu membuat breaktrough, berkolaborasi, saling percaya, mendukung, adaptif, terbuka, berprestasi dan responsif.

Itu semua untuk mengurai akar perubahan dalam dada pelajar dan keindonesiaan kita, bukan budaya konflik, instan, nyontek, copypaste dan korup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun