Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengulang Romantisme (Ber)Sepeda

30 Juni 2020   10:46 Diperbarui: 30 Juni 2020   10:58 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hadew senangnya mengenang masa kecil kala belajar naik sepeda. Bermain, bersekolah SD hingga kuliah pun bersetia dengan sepeda. Tapi sejatinya secara ekonomi orangtua tak mampu membelikan anak-anaknya lebih dari sepeda. Sepeda kebo"varus," telah mengantarkanku hingga kelas 1 SMA, kemudian meningkat ke sepeda jengki RRT "phoenik," sampai lulus hingga paroh waktu kuliah di Kentingan Solo.

Bersepeda hingga kini menjadi kerinduan yang menjaga. Ia tak cuma booming kala new normal musim covid. Jauh sebelum pandemi membungkam, bersepeda sudah akrab digunakan sebagai sarana transportasi pada masa perjuangan menumpas kolonial.

Saat kemerdekaan pun hinga sekarang sepeda tak sedikit dimanfaatkan untuk menemani sekolah, kuliah, bermain bahkan pacaran. Mengenang era 90-an, setiap Minggu Pak Pos dengan rianganya mengantarkan surat-surat ke pangkuan penulis. Kring-kring Pos. Sepeda itu harganya mini tapi manfaatnya maksi (dulu).

Kini, masa dimulainya new normal, sepeda menjadi istimewa dan menjadi tuan di rumah sendiri. Perkembangan zaman, sepeda tak hanya berubah lewat desain dan modelnya, tapi juga harga maupun bahan bakunya.

Sepeda merangsek di jalanan protokol dan ruas jalan lokal lainnya. Sepeda impor dan domestik berebut berjuang mencuri hati para pecinta sepeda. Mulai anak-anak hingga dewasa. Sekarang, masih masa pandemi, siswa dan mahasiswa masih belajar di rumah, sebagian ASN atau pekerja WFH.

Bisa pula, mungkin saja diganggu rasa born-out atas anjuran stay at home, maka kala pemerintah membuka kembali zona car free day (CFD) atau sedikit ada kelonggaran lain, maka bersepeda menjadi idola dan favorit zaman pandemi. 

Semoga tren sepeda ini menjadi pertanda baik, makin banyak yang sembuh, menurunnya kasus dan sedikit yang meninggal karena corona. Di beberapa kota besar, sepeda menjadi kunci bagian jasa pengiriman yang dihela anak-anak muda yang menghasilkan pundi-pundi uang.

Pada aras lain, KPK menyediakan hadiah sepeda bagi pengungkap kasus novel baswedan. Kemudian Pak Presiden Pak Jokowi acap memberikan sepeda kepada warga atau anak yang mampu menjawab pertanyannya saat blusukan ke daerah. 

Hal ini masih dinanti masyarakat untuk lebih dekat dengan Presiden dan beroleh hadiah darinya. Bahkan, Soekarno sering mengajak Fatma untuk berjalan-jalan menggunakan sepeda selepas memberikan les Bahasa Inggris. Benih-benih cinta pun muncul di tengah keduanya.

Pengalaman yang tak beda jauh, dengan sepeda mengantarkan kekasihku membelah malam melunasi ruas Menteri Supeno hingga Puspanjolo. Pada altar lain, di pedesaan pun sepeda menjadi barang berharga dan tak jarang menjadi hadiah bagi anak-anaknya yang cemerlang secara akademik (kenaikan kelas, kelulusan, dll).

Pertama sebagai bagian moda transportasi yang ramah lingkungan, karena memang ia tak membuat polusi, tanpa asap pembuangan dan hanya mengandalkan tubuh yang sehat dan bugar yang sanggup menggowes pedalnya berkeliling kota menyusuri desa, membelah hutan mendayung gunung, mandaki laut, dll.

Kedua, sepeda berimpresi gaya hidup burjois dan inklusif. Karena kelompok pesepeda ini terbiasa dengan kustom kontras berwarna-warni dan tak murah harga uniformanya. Mulai sepatu hingga helm sepeda bisa menguras hingga puluhan juta rupiah.

Ketiga, sepeda menjadi penanda identitas. Bahkan serasa ingin mengatakan, "Itu aku," dengan nama-nama klub gowesnya berikut jenis sepeda yang bertarif mahal, klub brompton, dogma, giant, dahoon, specialized, dll.

Keempat, dengan bersepeda secara personal maupun kolektif bisa mengundang orang lain untuk bekerjasama secara ekonomi dan sosial budaya. Bisa saja gegara hanya punya sepeda unik atau bersepeda dengan cara yang berbeda, ada produser film (misalnya) mengajak shooting atau tampil di layar televisi, dll. Ada juga buku, "Melihat Indonesia dari Sepeda."

Ada juga lho film bertema sepeda : American Flyers (1985), Rising From Ashes (2012), Bicycle (2014), Icarus (2017), Blood Road (2017), untuk film domestik, seperti Jakartrack (2011), Kalau Saja Punya Sepeda (2015).

Selain itu, bermula dari sepeda mampu membawa hartum bangsa. Lihat saja deretan nama Hendrik Brocks, Rusli Hamsjin, Theo Polhaupessy, dan Sanusi adalah empat pembalap sepeda yang tampil dalam Olimpiade 1960.

Lebih Berwarna
Dalam level Asia, Tonton Susanto menjadi peraih perak individual time-trial road race pada Kejuaraan Balap Sepeda Asia 1992. Bernard van Aert meraih perak dalam kategori trek melalui nomor points race putra serta perunggu melalui nomor scratch dalam Kejuaraan Balap Sepeda Asia 2020, dll.

Dalam banyak hal kita bersepakat dengan sepeda dan bersepeda, tapi tak sedikit hal pula kita tak bersepakat. Misalnya, kita tak mentolerir bersepeda dengan melanggar aturan lalulintas. Menyerobot jalur, mengabaikan rambu lalu lintas, menyetop jalan/kendaraan lain seenaknya, membuat keributan di jalanan, di masa covid ada yang tak bermasker saat gowes.

Hal terakhir ini banyak dituding sebagai biang meninggalkanya pegowes, hingga memicu Walikota Semarang membolehkan warganya gowes atau olahraga tanpa bermasker, kecuali saat istirahat atau selesai olahraga mesti bermasker lagi.

Satu hal yang membuat kecewa pecinta sepeda atau pegowes atas ulah kelompok gowes"brompton," yang membawa sepedanya masuk di salah satu rumah makan. Ini bagian aksi-aksi yang menciderai rumah besar yang bernama klub-klub sepeda di tanah air.

Kasus begal sepeda di beberapa kota harus diakhiri dengan mengedukasi pesepeda sebaiknya berkelompok, menaikkan patroli dan ketegasan apparat. selain itu tetap merawat regulasi berlalulintas yang baik. Tak membuang sampah sembarangan, dan menjaga kebersihan kota sekaligus meviralkan keindahan negeri sebagai bagian kampanye Indonesia yang memesona di mata dunia. Bersepeda membuat hidup lebih berwarna. Sepeda, berkilaulah!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun