Kedua, sepeda berimpresi gaya hidup burjois dan inklusif. Karena kelompok pesepeda ini terbiasa dengan kustom kontras berwarna-warni dan tak murah harga uniformanya. Mulai sepatu hingga helm sepeda bisa menguras hingga puluhan juta rupiah.
Ketiga, sepeda menjadi penanda identitas. Bahkan serasa ingin mengatakan, "Itu aku," dengan nama-nama klub gowesnya berikut jenis sepeda yang bertarif mahal, klub brompton, dogma, giant, dahoon, specialized, dll.
Keempat, dengan bersepeda secara personal maupun kolektif bisa mengundang orang lain untuk bekerjasama secara ekonomi dan sosial budaya. Bisa saja gegara hanya punya sepeda unik atau bersepeda dengan cara yang berbeda, ada produser film (misalnya) mengajak shooting atau tampil di layar televisi, dll. Ada juga buku, "Melihat Indonesia dari Sepeda."
Ada juga lho film bertema sepeda : American Flyers (1985), Rising From Ashes (2012), Bicycle (2014), Icarus (2017), Blood Road (2017), untuk film domestik, seperti Jakartrack (2011), Kalau Saja Punya Sepeda (2015).
Selain itu, bermula dari sepeda mampu membawa hartum bangsa. Lihat saja deretan nama Hendrik Brocks, Rusli Hamsjin, Theo Polhaupessy, dan Sanusi adalah empat pembalap sepeda yang tampil dalam Olimpiade 1960.
Lebih Berwarna
Dalam level Asia, Tonton Susanto menjadi peraih perak individual time-trial road race pada Kejuaraan Balap Sepeda Asia 1992. Bernard van Aert meraih perak dalam kategori trek melalui nomor points race putra serta perunggu melalui nomor scratch dalam Kejuaraan Balap Sepeda Asia 2020, dll.
Dalam banyak hal kita bersepakat dengan sepeda dan bersepeda, tapi tak sedikit hal pula kita tak bersepakat. Misalnya, kita tak mentolerir bersepeda dengan melanggar aturan lalulintas. Menyerobot jalur, mengabaikan rambu lalu lintas, menyetop jalan/kendaraan lain seenaknya, membuat keributan di jalanan, di masa covid ada yang tak bermasker saat gowes.
Hal terakhir ini banyak dituding sebagai biang meninggalkanya pegowes, hingga memicu Walikota Semarang membolehkan warganya gowes atau olahraga tanpa bermasker, kecuali saat istirahat atau selesai olahraga mesti bermasker lagi.
Satu hal yang membuat kecewa pecinta sepeda atau pegowes atas ulah kelompok gowes"brompton," yang membawa sepedanya masuk di salah satu rumah makan. Ini bagian aksi-aksi yang menciderai rumah besar yang bernama klub-klub sepeda di tanah air.
Kasus begal sepeda di beberapa kota harus diakhiri dengan mengedukasi pesepeda sebaiknya berkelompok, menaikkan patroli dan ketegasan apparat. selain itu tetap merawat regulasi berlalulintas yang baik. Tak membuang sampah sembarangan, dan menjaga kebersihan kota sekaligus meviralkan keindahan negeri sebagai bagian kampanye Indonesia yang memesona di mata dunia. Bersepeda membuat hidup lebih berwarna. Sepeda, berkilaulah!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H