Mohon tunggu...
Tengku Ariy Dipantara
Tengku Ariy Dipantara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sejarawan Gadungan dan Sastrawan Amatiran yang bekerja untuk kemanusiaan @TengkuDipantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanah Lapang Sudah Hilang

28 November 2014   18:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:36 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1417148940213711484

Di suatu siang seusai aku pu­lang sekolah, aku mendapati se­buah kertas besar yang penuh de­ngan tulisan ceker ayam. Isinya menunjukkan tabel klasemen se­perti yang biasa aku lihat di Koran Bola. Di bagian paling bawah ter­dapat kotak dengan judul tulisan; top-score. Sambil membawa se­piring nasi dia berkata padaku.

“Gabriel Batistuta calon tope-scorer-nya pemirsa!” Dimulailah kembali permainan kami yang telah lama kami rindukan.

Sejak kecil aku menyenangi sesuatu yang tak banyak disena­ngi orang. Aku tak mampu me­ngingat apa yang membentuk ka­rakterku menjadi begini. Bila ke­banyakan teman sekolahku me­nyenangi Tim Nasional Brazil atau Argentina, aku malah memi­lih Rusia sebagai favorit. Padahal nantinya, menembus penyisihan grup Piala Dunia 1998 saja Rusia tak mampu. Aku memfavoritkan Dimitri Alenichev, pemain asal Spartak Moskow. Tendangan pi­sangnya jago, berwajah tampan yang dingin, dan gocekannya juga mantap. Bila berbicara soal club, aku menyukai Napoli. Nah, lihat?

Lagi-lagi aku mencintai sesu­a­tu yang minoritas. Maradona te­lah lama meninggalkan Napoli. Saat itu yang tersisa hanyalah Fa­bio Cannavaro dan Giuseppe Taglialatela. Mungkin dari sinilah bakat romantisis yang nanti bakal menguasai diriku sepenuhnya la­hir. Selalu merindukan masa lam­pau yang penuh kebesaran.

Bulan September, Oktober, No­vember hingga Desember ada­lah bulan-bulan yang menjeng­kelkan buat kami.

“Ber..Ber.. Sedia Ember!” kata bunda mengejek deretan bu­lan menjelang akhir tahun yang selalu rutin menumpahkan hujan. Bila hujan datang, ‘stadiun’ kami menjadi becek tak berbentuk. Bun­da melarang keras untuk man­di hujan seperti anak-anak kam­pung selazimnya.

“Nanti pada kudisan!” katanya mengancam kami. Kosonglah tabel klasemen selama tiga bulan itu. Sungguh membuat perasaan jadi tak enak.

Beberapa hari setelah peraya­an Tahun Baru, seorang Bapak-bapak bersuku Padang datang ke rumah kami, Ajo Kelik namanya. Kelak, sampai masuk SMA aku ba­ru bisa melunturkan rasa den­damku terhadapnya. Apa pasal? Dia hendak membangun sebuah rumah kontrakan di depan rumah kami, ya, tepat di atas ‘stadiun’ tersayang yang sudah kami rasa sebagai kepunyaan kami pribadi. Ayah tak bisa melarangnya, ka­rena tanah itu memang bukan mi­lik siapa-siapa. Sepertinya Bun­da dapat merasakan, kedata­ng­an Ajo Kelik adalah kisah horor untukku. Aku tahu karena setelah Ajo Kelik pulang, Bunda langsung memeluk tubuhku dengan begitu erat.

Menjelang kenaikan kelas, aku mendapat tugas mengganti­kan Abang untuk menyiram bu­nga setiap sore. Dari tempatku du­duk, aku memperhatikan para pekerja yang pelan-pelan mulai memenuhi ‘stadiun kami’ dengan tumpukan bata, semen, pasir dan segala macam material bangunan lainnya. Aku marah, jengkel, ge­regetan. Aku ingin nangis setiap menatap dan menyadari, betapa semrawutnya lapangan itu jadi­nya. Rumah itu tak siap-siap, pe­kerjanya malas-malas. Tahu be­gini kenapa tidak ditunda saja pem­bangunannya, hingga dua atau ti­ga bulan lagi? Paling tidak, biar­kanlah kami menamatkan permain­an kami dahulu.

Menjelang aku menuntaskan tugas soreku, Abang pulang berbon­ce­ngan dengan Ayah. Aku melihat, dia melirik sekilas ke lapangan itu sambil tersenyum. Dia menyapaku sam­bil tersenyum pula. Mungkin se­nyuman yang lahir dari sebuah kere­laan atas kehilangan. Selamat tinggal stadiun tersayang!

Dimuat di Harian Analisa, 9 November 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun