Di suatu siang seusai aku pulang sekolah, aku mendapati sebuah kertas besar yang penuh dengan tulisan ceker ayam. Isinya menunjukkan tabel klasemen seperti yang biasa aku lihat di Koran Bola. Di bagian paling bawah terdapat kotak dengan judul tulisan; top-score. Sambil membawa sepiring nasi dia berkata padaku.
“Gabriel Batistuta calon tope-scorer-nya pemirsa!” Dimulailah kembali permainan kami yang telah lama kami rindukan.
Sejak kecil aku menyenangi sesuatu yang tak banyak disenangi orang. Aku tak mampu mengingat apa yang membentuk karakterku menjadi begini. Bila kebanyakan teman sekolahku menyenangi Tim Nasional Brazil atau Argentina, aku malah memilih Rusia sebagai favorit. Padahal nantinya, menembus penyisihan grup Piala Dunia 1998 saja Rusia tak mampu. Aku memfavoritkan Dimitri Alenichev, pemain asal Spartak Moskow. Tendangan pisangnya jago, berwajah tampan yang dingin, dan gocekannya juga mantap. Bila berbicara soal club, aku menyukai Napoli. Nah, lihat?
Lagi-lagi aku mencintai sesuatu yang minoritas. Maradona telah lama meninggalkan Napoli. Saat itu yang tersisa hanyalah Fabio Cannavaro dan Giuseppe Taglialatela. Mungkin dari sinilah bakat romantisis yang nanti bakal menguasai diriku sepenuhnya lahir. Selalu merindukan masa lampau yang penuh kebesaran.
Bulan September, Oktober, November hingga Desember adalah bulan-bulan yang menjengkelkan buat kami.
“Ber..Ber.. Sedia Ember!” kata bunda mengejek deretan bulan menjelang akhir tahun yang selalu rutin menumpahkan hujan. Bila hujan datang, ‘stadiun’ kami menjadi becek tak berbentuk. Bunda melarang keras untuk mandi hujan seperti anak-anak kampung selazimnya.
“Nanti pada kudisan!” katanya mengancam kami. Kosonglah tabel klasemen selama tiga bulan itu. Sungguh membuat perasaan jadi tak enak.
Beberapa hari setelah perayaan Tahun Baru, seorang Bapak-bapak bersuku Padang datang ke rumah kami, Ajo Kelik namanya. Kelak, sampai masuk SMA aku baru bisa melunturkan rasa dendamku terhadapnya. Apa pasal? Dia hendak membangun sebuah rumah kontrakan di depan rumah kami, ya, tepat di atas ‘stadiun’ tersayang yang sudah kami rasa sebagai kepunyaan kami pribadi. Ayah tak bisa melarangnya, karena tanah itu memang bukan milik siapa-siapa. Sepertinya Bunda dapat merasakan, kedatangan Ajo Kelik adalah kisah horor untukku. Aku tahu karena setelah Ajo Kelik pulang, Bunda langsung memeluk tubuhku dengan begitu erat.
Menjelang kenaikan kelas, aku mendapat tugas menggantikan Abang untuk menyiram bunga setiap sore. Dari tempatku duduk, aku memperhatikan para pekerja yang pelan-pelan mulai memenuhi ‘stadiun kami’ dengan tumpukan bata, semen, pasir dan segala macam material bangunan lainnya. Aku marah, jengkel, geregetan. Aku ingin nangis setiap menatap dan menyadari, betapa semrawutnya lapangan itu jadinya. Rumah itu tak siap-siap, pekerjanya malas-malas. Tahu begini kenapa tidak ditunda saja pembangunannya, hingga dua atau tiga bulan lagi? Paling tidak, biarkanlah kami menamatkan permainan kami dahulu.
Menjelang aku menuntaskan tugas soreku, Abang pulang berboncengan dengan Ayah. Aku melihat, dia melirik sekilas ke lapangan itu sambil tersenyum. Dia menyapaku sambil tersenyum pula. Mungkin senyuman yang lahir dari sebuah kerelaan atas kehilangan. Selamat tinggal stadiun tersayang!
Dimuat di Harian Analisa, 9 November 2014