Permainan kami mulai terganggu semenjak abangku masuk SMP. Jarak sekolahnya yang cukup jauh, dia juga mulai memiliki banyak teman baru di kampung itu. Hanya di hari Sabtu atau hari Minggu sajalah kami bisa melanjutkan permainan kami.
Aku mulai merasa kesepian. Togu tak mungkin aku ajari permainan itu. Selain dia tak begitu pandai bermain, pun dia sama sekali tak tahu nama-nama pemain sepak bola. Paling-paling yang dia hafal hanya Romario atau Ronaldo saja. Betapa bebal otaknya, membaca saja masih mengeja satu persatu hurufnya.
Begitulah, hukum sebab-akibat membuatku menemukan permainan baru. Aku gemar melukis para pemain sepak bola dunia di belakang kertas kalender. Kecil-kecil aku gambari mereka. Bundaku senang melihatnya,
“Kayak betulan mukanya,” katanya membanggakan hasil seniku kepada teman-teman PKK-nya. Gambar-gambar itu aku potongi dengan gunting sesuai bentuk dan ukuran. Aku kumpulkan dan jual ke teman-teman di sekolahku. Lumayan. Satu kesebelasan aku hargai lima ratus perak. Uangnya aku tabung untuk membeli pinsil air berwarna seharga dua ribu lima ratus beserta kertas karton. Bisa dibilang, inilah kali pertama aku mengenal daya cipta yang bisa menghasilkan uang. Alangkah gembiranya.
Untuk melengkapi kerja kesenianku, aku membutuhkan beberapa amunisi yang kadang membuatku jengkel dalam mengumpulkannya. Seperti Koran Bola yang terbit setiap hari Selasa dan Jum’at. Aku membutuhkan koran itu sebagai acuan dari wajah para pemain bola yang hendak aku gambar. Sialnya, warung koran yang menyediakan Koran Bola hanya ada di simpang Titi Papan, sekitar lima kilometer jaraknya dari rumah. Aku tak diizinkan Bunda naik sepeda ke sana.
“Banyak truk, ditabraknya remuk tulang itu!” Jadi aku hanya bisa membeli Koran Bola bila Ayah mau mengantar ke sana, lebih sering tak maunya.
Amunisi kedua adalah gunting. Entah kenapa, sangat sulit menemukan gunting di dalam rumah kami. Padahal harganya hanya tujuh ratus lima puluh perak. Rasanya aku ogah bila uangku keluar hanya untuk membeli gunting, disaat yang sama aku sadar membutuhkannya. Mungkin ini yang dinamakan berhemat atau lebih pantas disebut kikir? Aku beranggapan harusnya bundaku lah yang membeli gunting itu, karena aku merasa gunting adalah salah satu alat kebutuhan rumah. Dalih ini membuat aku tak rela untuk membelinya. Aku menangis saat melihat gunting yang dibeli Bunda adalah gunting yang telanjang tanpa karet menutupi pegangannya. Itu membuat jari telunjukku ngilu.
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Ayah tentang diriku: “Angek-angek tai ayam!” Ya! Itulah aku. Beberapa minggu saja aku sudah bosan lalu meninggalkan dunia lukis-melukis itu. Selama beberapa hari Bunda memandangiku sambil tersenyum saat aku golek-golekan di ruang tamu.
“Enggak gambar lagi, Ri?” katanya kepadaku. Aku diam saja. Entah kenapa aku merasa tersinggung dengan pertanyaan itu. Teman-teman di sekolah juga ikut-ikutan menanyaiku. Sama saja ekspresiku, diam sambil merengut. Tak masalah, lewat seminggu, semuanya sudah pada lupa. Kehidupan kembali berjalan seakan aku tak pernah mengerjakan itu semua.
Lewat caturwulan dua, abangku mulai sering pulang tepat waktu dari sekolahnya. Jam dua teng. Tak perlu kutanyakan ada apa. Melalui omongan Ayah dan Bunda aku mengetahui, dia dimusuhi teman-temannya entah gara-gara apa.
Setiap jam empat sore, sambil nongkrong menyirami bunga -halaman kami dipenuhi pot bunga yang sampai sekarang aku tak pernah hafal jenis dan nama-namanya- dia selalu mencuri pandang ke arah kami -aku dan Togu- yang asik bermain adu pinalti. Sepertinya dia merasa bersalah karena mengacuhkanku beberapa bulan belakangan.