Oleh: Tengku Ariy Dipantara.
SEBENARNYA Kampung Payah Rumput bukanlah tempat dimana aku dilahirkan. Bisa dibilang di kampung inilah segala memori masa lampau tertanam, begitu suburnya dalam ingatan. Sebelum ber-evolusi menjadi ‘manusia’, di tempat inilah aku lebih dahulu mempelajari bumi manusia dengan segala permasalahannya itu.
Kampung ini terletak hampir di ujung batas wilayah Sumater Utara dengan Selat Malaka. Hanya beberapa belas kilometer saja dari Pelabuhan Belawan. Mayoritas penduduk kampung, orang Melayu dan Jawa. Kawasan Industri Medan mengelilingi kampung ini seperti kura-kura raksasa yang menjaga Danau Hoan-kim di Vietnam.
Kapanpun si kura-kura raksasa lapar, dia akan menelan penduduk di dalamnya. Inilah yang membuat kampung ini memiliki nama lain: kampung buruh. Ada yang ganjil di Gang Melati. Rumah kami bertempat, hampir tak ada satupun anggota keluarga yang memilih untuk menjadi buruh. Tetangga di sebelah kanan rumah tak pernah kutahu bekerja apa, tapi yang pasti bukan buruh. Kepala keluarganya -yang aku tak tahu namanya- sangat jarang terlihat. Di sebelah kiriku, Bang Edy bekerja di perkebunan. Ayahku sendiri, seorang kontraktor yang sering keluar kota, terutama ke Aceh. Pokoknya tak ada satupun yang memburuh.
Tepat di depan halaman rumahku mulanya ada sebuah lahan kosong berumput Jepang, cukup luas. Bila pagi, rombongan bebek dan ayam Bang Muji berkeliaran di situ. Sore harinya giliran aku dan abangku bergantian dengan mereka untuk bermain sepak bola. Kami sering jengkel karena terinjak tai mereka.
Kami bermain berdua saja. Waktu itu tak ada anak di dalam gang yang seusia kami. Kami mendirikan sebuah gawang dengan kayu-kayuan yang kami beli di panglong, di depan kuburan China, asal saja. Kami bermain sambil menghayal menjadi pemain sepak bola terkenal, maksudku, jika aku yang sedang menggiring bola. Aku teriakkan sebuah nama: “Igor Titov!” kataku, kaki berbelok kuteriakkan nama lain: “Sergei Yuran!” Siapapun nama yang aku sebut sebelum mencetak gol, itulah si pencetak skornya. Nama-nama itu kami catat. Pencetak gol-ku selalu orang yang berbeda, tidak seperti abangku. Aku yakin dia mengakaliku, makanya tokoh khayalannya selalu memenangi perebutan top-score. Aku masih ingat dengan jelas, dia selalu menyebut nama Batistuta saat hendak mencetak gol. Ya, dia selalu mencurangiku sepanjang hidupnya.
Beberapa waktu kemudian ada sebuah keluarga Batak yang ikut meramaikan Gang Melati. Mereka menempati rumah yang telah lama kosong di depan rumahku, di samping stadiun imajiner kami. Ayahnya menarik becak dari pagi, hingga tengah malam. Anak perempuan tertua keluarga itu, Kak Etik membuka warung kecil di depan rumah, sementara adiknya, Kak Ros, kerjanya hanya mencari cowok. Anehnya, tak juga ada satupun dari keluarga ini yang memburuh!
Keluarga Batak ini memiliki seorang anak laki-laki yang seusia denganku, Togu namanya. Kemana-mana selalu mengenakan topi. Wajahnya bopeng-bopeng. Dia baik terhadapku. Setiap sore dia selalu duduk di rerumputan sambil memandangi kami bermain sepak bola.
Kami tak hendak mengajaknya bermain, bukan karena dia orang Batak. Kami tak ingin permainan menghayal kami menjadi terganggu. Kami merasa malu jika si Togu tahu tentang permainan gila kami itu. Semakin lama dia mulai berani berdiri-diri menunggu bola yang tersepak jauh. Mulai berani berteriak-teriak girang menyoraki kami. Malah mulai berani ikut menyepak bola yang mengarah ke tempat dia duduk.
Mau tak mau kami pun akhirnya mengajak dia untuk ikut bermain. Bagaimana hayalan kami? O, tidak bisa tidak, kami akan menunggu sampai dia dipanggil Kak Etik untuk memasukkan jajanan anak-anak di warung. Barulah kami mulai kembali permainan kami yang mengasyikkan itu.