Cahaya beri harapan sinar dan tawaran terang. Replika gelap lantang tak terlihat kasat mata. Lalu lintas cahaya dan gelap bagai lantunan tesis anti tesis yang tak terelakkan. Lingkarannya berputar beri sentuhan peradaban laku hidup. Manusia sebagai pewaris tunggal akal budi tak luput dominasi perkembangan dialektika terang dan gelapnya. Manusia hari ini, esok dan akan datang merupakan rancang bangun kodrat akal budi. Kekuatan inilah yang nantinya berujung pada perkembangan nalar kritis umat manusia.
Aku adalah sebagaimana pikiran (prasangka) hamba-Ku. Bukan sebuah kebetulan kalau sang Pencipta menyampaikan pesan kuat ini melalui utusan-Nya. Begitu hebat kekuatan akal pikiran, sehingga ide yang memenuhi pikiran seorang hamba bisa menjadi kekuatan mengubah dunia. Kodrat manusia sebagai makhluk berakal tak dapat dihindarkan. Keberadaan akal tersebutlah yang mampu mengantarkan perubahan manusia terhadap lingkungannya sendiri. Konsep penggunaan akal insan tak luput dari cara berpikir yang menghasilkan sebuah pengetahuan. Hanya dengan berpikir dapat menentukan kualitas manusia. Dengan demikian menjadikan indikator manusia pada peningkatan drajat kedudukan lebih tinggi. Inilah garis dasar pembeda manusia dengan makhluk Tuhan lainnya yang patut disyukuri. Ada benarnya argumen Fritjof Capra mengatakan bahwa implikasi filosofis terpenting yang merupakan pemahaman baru tentang kehidupan adalah mengenai hakikat pikiran dan kesadaran (Capra,2009).
Sentuhan Filsafat
Sentuhan takdir selalu mengamini ketidakmungkinan. Keberadaannya (takdir) terkadang bisa menyapa keindahan. Indah pada saat orang menafsirkan pandangan baik. Sebaliknya tekadang bisa menjadi murka tatkala menerjemahkannya buruk. Begitu pula dengan hadirnya filsafat yang selalu meyentuh lini manusia. Tak heran implikasi aspek kehidupan tak bisa lepas dari filsafat. Ia (filsafat) seperti “alat” yang pemakaiannya tergantung si pemakainya menggunakan untuk apa. Bisa menjadi bunga yang indah bahkan bisa menjadi racun ganas yang menggoncang zaman. Tak dipungkiri filsafat merupakan induk dan ibu kandung dari variasi jenis ilmu di dunia. Standar normatif kata filsafat berasal dari bahasa Yunani dan berarti “cinta akan hikmat” atau “cinta akan pengetahuan”. “Pecinta” (Philos), dan “(Shopia)” kebijaksanaan. Secara historis literatur filsafat dunia tak dipungkiri diawali dari konsep berpikir tentang alam semesta. Dalam hal ini alam menjadi pemicu awal dasar manusia menggunakan akalnya untuk berpikir. Pada akhirnya berujung pada kemampuan manusia memproduksi pengetahuan bermanfaat kepada umat manusia.
Dimulai dari sejarah filsafat timur di daratan India utara yang disebut zaman weda (2000-600 SM). Lebih dikenal zaman weda karena literatur suci mereka disebut weda. Bagian yang terpenting dari kitab mereka disebut upanishad. Suatu tema yang muncul dari upanishad ialah tentang ajaran Atman dan Brahman. Atman mengajarkan perihal pola pikir manusia mengenai segi subjektif dari kenyataan makro kosmos alam semesta. Sementara Brahmana adalah segi objektif kenyataan yang diterima. Ini juga dilakukan oleh Konfusius (551-497 SM) dan Taoisme (550 SM) mengajarkan pola pikir manusia perihal harmonisasi kemanusiaan dan kesadaran akan alam.
Hal yang sama juga dilakukan di sebelah barat atau yang dikenal dengan pemikiran filsafat barat. Adapun beberapa tokohnya diantaranya adalah Thales (624-546 SM). Pada zaman ini dalam babakan sejarah filsafat berada pada kelompok pra-klasik. “What is the nature of the word stuff ? ”, merupakan pertanyaan pamungkas Thales pada zamannya sehingga mengantarkan Thales sebagai bapak filsafat. Cara berpikir Thales tentang apa sebenarnya bahan alam semesta merupakan cara berpikir filsafat. Thales pun menjawab dengan logika Air. Menurutnya air adalah sumber bahan alam semesta karena dominasi kebutuhan air lebih dalam kehidupan. Setelah Thales muncul Anaximander (550 SM). Kekal itu ada dengan sendirinya dan yang kekal itu adalah udara. Menurut Anaximander udara adalah sumber segala kehidupan. Pola pikir ala Anaximander juga dihasilkan oleh cara berpikirnya tentang alam. Kemudian Heraklitos (544-484 SM) mengatakan bahwa engkau tidak dapat terjun ke sungai yang sama dua kali karena air sungai itu selalu mengalir. Semua selalu dalam keadaan berubah. Dingin ke panas ke dingin, siang ke malam dan seterusnya. Bagi Heraklitos hidup itu selau berubah dan dinamis. Tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri. Terjemahan itulah menjadi keutamaan pemikiran Heraklitos. Kebenaran selalu berubah, tidak tetap (relatif) itulah pesan moral ciri khasnya Heraklitos.
Sementara Pythagoras (532 SM) dalam aliran pythagorean muncul sebagai ahli filsafat dalam ilmu ukur. Bagi Pythagoras sumber inspirasi pikiran yang terinspirasi ketika mengatakan bumi itu tidak datar alias bulat. Penjabaran ukuran kepastian dan kebenaran melalui sistem angka (numerikal) menjadi karakter yang mengental pada diri Pythagoras. Dialah salah satu bapak matematika yang mampu mengembangkan pikirannya menjadi sebuah wawasan ilmu pengetahuan dibidang matematika.Bahkan setelah masa pra klasik atau pada masa Thales selanjutnya muncul filsafat klasik yang dipelopori oleh Socrates, Plato, dan Aristoteles. Namun, pada masa transisi itu muncul kaum sofisme sebagai penganut paham kebenaran relativistik. Pada masa transisi inilah memunculkan lawan tesis sofisme beberapa tiga filsuf besar yang dikenal filsuf klasik. Ketiga filsuf tersebut memiliki ciri khas pemikirannya masing-masing. Kondisi ini dialihkan lagi oleh Socrates mengenai cara berpikir tentang manusia. “Kenalilah dirimu sendiri”, sebuah nasihat klasik dari Socrates yang sangat penting dan tetap akztual bagi para bijak. Sejarah berpikir kritis sesungguhnya telah dipraktekkan dan dipelajari selama hampir ratusan tahun. Bahkan, Socrates sudah memulai pendekatan ini dalam kegiatan belajar ini lebih dari 2000 tahun lalu. Bahkan dialektikanya Socrates relevansi zamannya mengental sampai saat ini.
Bicara tingkatan urutan klasifikasi akal rasio dapat dikatakan Aristoteles boleh lebih banyak bicara yang lebih gamblang menguraikannya. Berikut ini dapat dilihat dari klasifikasi akal budi menurut Aristoteles, akal budi manusia memiliki tiga jiwa (anima), yakni: Anima avegatitiva atau disebut roh vegetatif. Anima ini juga dimiliki tumbuh-tumbuhan, dengan fungsi untuk makan, tumbuh, dan berkembang biak. Anima sensitiva, yakni jiwa untuk merasa, sehingga manusia punya naluri, nafsu, mampu, mengamati, bergerak, dan bertindak. Anima intelektualiva, yakni jiwa intelek. Anima intelektualiva ini memungkinkan manusia untuk berpikir, bertindak, dan mempunyai kesadaran.
Berdasarkan klasifikasi pemahaman akal budi Aristoteles di atas dapat dilihat bahwa tingkatan tertinggi akal budi (anima) perihal intelektual menjadi tingkatan tertinggi yang berusaha dicapai manusia. Tak dipungkiri membicarakan intelektual tak lepas dari yang namanya upaya berpikir manusia. Peran sentral berpikir kritis merupakan salah satu wujud upaya manusia tersebut untuk mengelola daya pikirnya. Dengan demikian manusia tersebut mampu menjalankan dan melaksanakan laku hidupnya kearah yang lebih baik dan bijak.
Pancaran Kritis
Cahaya akal mampu memancarkan sinar nalar kritis. Kilau sinarnya seakan sukar dihilangkan bahkan menjadi bagian nafas kehidupan sejarah manusia. Sementara dalam pandangan Profesor filsafat Driyakara Fran Magnis Suseno mengatakan bahwa filsafat itu bersifat kritis. Tak dipungkiri terdapat korelasi yang erat perihal teori-teori yang menghubungkan antara filsafat ilmu dengan berpikir kritis. Filsafat ilmu dengan berpikir kritis bagaikan dua sisi mata uang yang berdampingan seolah sukar dipisahkan atau dihilangkan. Karakter inilah yang kiranya mengental dan membatin diantara keduanya.
Hal senada pun disampaikan melalui pemikirannya Popper mengatakan tugas filsafat ilmu adalah mendalami dan berusaha berpikir untuk mengkritisi sesuatu. Simpulan logika dari aneka ragam pendapat pakar filsafat di atas menjadi dasar kolektif bahwa begitu eratnya hubungan pengetahuan filsafat ilmu dengan logika pemikiran kritis. Seolah asumsi filsafat tak dapat terhindarkan oleh asumsi pemikiran kritis. Pembentukan proses pemikiran kritis tak dipungkiri dirangsang oleh penajaman filsafat.
Itulah kenyataan yang tak dapat dihindarkan. Tanggung jawab yang sejatinya dapat dijadikan pembelajaran bagi setiap manusia. Pengetahuan (episteme, dalam bahasa Yunani) adalah salah satu kemampuan khas manusia yang membentuk peradaban global dan membawa akibat-akibat besar terhadap kodrat kemanusiaan. Dalam konsep sejarah pembangunan bangsa pun dipengaruhi oleh kekuatan akal dan pengetahuan. Dapat dilihat dari sejarah Kartini sebagai ibu nasionalisme modern Indonesia selalu mengingatkan bahwa bangsa akan memiliki karakter jika penduduknya meninggalkan kegelapan pengetahuan dan menemukan terangnya pemikiran dari akal budi manusia menuju kemajuan.
Indonesia pun memiliki beberapa tokoh filsuf pemikir kritis yang dari pemikirannya berkontribusi terhadap kemerdekaan bangsa ini. Sebut saja salah satu tokoh pahlawan Indonesia yang dikenal dengan panggilan Tan Malaka. Merupakan tokoh legendaris bapak Republik Indonesia. Perlu diketahui bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka pemikiran kritis Tan Malaka mampu menjangkau lahirnya embrio kemerdekaan tanah air. Pada tahun 1925 dia pernah menulis gagasannya yang terkenal dalam bentuk brosur dengan judul, Naar De Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia - Canton, 1925). Tak dipungkiri gagasan kritis Tan Malaka ternyata terbukti dengan tercapainya kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tahun 1945.
Sebagai pahlawan Tan Malaka tidak pernah berhenti berkarya. Ia terus menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan untuk melawan penjajah dan cita-cita luhur rakyat Indonesia yakni bebas dan merdeka 100%. Materialisme, Dialektika, Logika (Madilog) merupakan salah satu karya terbaiknya. Esensi pemikiran Tan Malaka tentang bangsa dan tanah airnya terkandung jelas di dalam Madilog.Dengan Berani Tan Malaka menganalisa nasib bangsanya yang terjajah, dan berusaha memikirkan solusi jalan keluar dari jeratan penindasan. Itulah madilog, sebuah konsep tentang cara atau pola berpikir baru yang dianggapnya perlu dimiliki oleh bangsanya untuk memerdekakan sekaligus memperbarui atau membangun diri. Madilog Tan Malaka juga menjadi salah satu karya besar anak bangsa yang ingin menandaskan bahwa filsafat dapat menjadi dasar bagi sebuah pembaharuan sosial.
Tokoh rasionalis Indonesia Sutan Syahrir pun menegaskan bahwa keterbelakangan bangsa hanya bisa diperbaharui dengan mempergunakan akal budi dalam mengatur kehidupannya. Sementara bagi Hatta karakter bangsa hanya bisa dibentuk jika masyarakatnya mampu mempergunakan daya pikir dan mampu merefleksikan budaya sendiri dalam pengembangan kehidupan bersama. Begitu juga dengan gagasan dasar berdikarinya Soekarno. Dapat diartikan bahwa bangsa ini berjuang tidak hanya dalam tataran perjuangan fisik semata melainkan lebih juga mengedepankan terhadap dominasi pembangunan karakter pengetahuan yang dijadikan sebagai salah satu alat perlawanan. Inilah yang coba diabadikan bagi rakyat kekinian dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan yang telah dirintis oleh pendahulu bangsa.
Berdasarkan fakta di atas dapat dikatakan bahwa perkembangan cara berpikir kritis telah dilakukan oleh para pahlawan, filosof dan futurolog ternama. Selain pengembangan fitrah bertuhan, pembentukan fitrah moral dan budipekerti, inkuiri dan berpikir kritis disarankan sebagai tujuan utama pendidikan sains merupakan dua hal yang bersifat sangat berkaitan satu sama lain. Terdapat tiga istilah yang berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang sebenarnya cukup berbeda; yaitu berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Berpikir kritis adalah model berpikir mengenal subtansi masalah untuk meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil dalam menerapkan standar-standar intelektual. Dalam pandangan lain dapat juga dikatakan bahwa berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau atau dilakukan.
Konklusi
Uraian di atas menyuguhakan arti pentingnya filsafat dalam mendayagunakan pola pikir kritis. Tanpa disadari bahwa jika manusia telah menggunakan pola pikir yang kritis berarti manusia tersebut mampu memanifestasikan akal budinya ke dalam sesuatu hal yang sifatnya mendasar dan subtansi. Berpikir kritis merupakan skill kognitif yang memungkinkan seseorang menginvestigasi sebuah situasi, masalah, pertanyaan, atau fenomena agar dapat membuat sebuah penilaian atau keputusan. Berpikir kritis memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat.
Relevansi filsafat dengan logika berpikir kritis tak dapat diartikan sebagai upaya dapat dihindarkan. Ibarat dua sisi mata uang yang menjadi kesatuan integral yang tak dapat dipisahkan. Berdasarkan literatur konsep berpikir kritis dapat diklasifikasikan menjadi tujuh kerangka dasar. Diantaranya yang pertama ialah untuk dapat memecahkan masalah dengan sub indikator mencari alternatif tindakan terbaik yang harus diambil, dan mencari pertimbangan yang paling masuk akal. Kedua, usaha berargumen dengan sub indikator mengeluarkan pendapat pribadi, mendengarkan pendapat orang lain, mengeluarkan pendapat di depan forum, berdebat dengan orang lain. Ketiga, usaha bertanya dengan sub indikator berupaya mengeluarkan pertanyaan, berupaya mempertanyakan sesuatau yang dianggap tidak benar. Keempat, mencari informasi baru dengan sub indikatornya haus akan informasi baru, mencari berita-berita aktual. Kelima, selalu mengkritisi kata-kata yang tidak jelas, selalu mengkritisi penggunaan kata yang menutupi makna, Selalu menghindari kata-kata sifat yang sifatnya emosional. Keenam, usaha menarik kesimpulan dengan sub indikator tidak terlalu mudah dalam menyimpulkan sesuatu, berusaha menganalisis terlebih dahulu. Ketujuh, usaha menilai bukti dengan sub indikator mencari bukti yang akurat, berusaha mencari bukti yang tidak bertentangan dengan pokok masalah. Hidup itu pilihan. Dalam dimensi apapun manusialah yang menentukan dan menetapkan laku sikap hdiupnya. Tumbuh kembangnya logika kritis manusia pun merupakan sebuah pilihan. Berangkat dari kerangka asumsi berpikir kritis di atas manusialah yang menentukan pilihannya. Bagaimana dengan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H