Detik demi detik waktu berlalu
Biduk tak berlabuh, Â
Mengayuh dalam riak takdir, Â
Menerobos gelombang sunyi, Â
dengan nafas harapan yang selalu dihela.
Di bawah langit kelabu dan bintang yang terasing, Â
Tak bertanya pada angin, Â
Tak meragu pada arus, Â
Mengukur jarak hanya dengan keteguhan, Â
Berlayar dalam diam, Â
Membawa beban yang tak pernah dibiarkan terjatuh.
Biduk itu ringkih, Â
Namun kekuatan tak tertakar di sana, Â
Di setiap kayuh, Â
Tersimpan peluh pengabdian, Â
Menyusuri jalur yang tak terpetakan, Â
Mengejar pelabuhan yang tak pernah diklaim untuk dirinya.
Kala badai mengamuk, Â
Hanya tertunduk rendah pada laut, Â
Sebab tahu, Â
Di samudra ini, Â
Tak ada gelora yang tak akan mereda, Â
Tak ada derita yang tak akan menghilang, Â
Ia bertahan, bukan untuk melawan, Â
Tapi untuk memelihara arah, Â
Menuju cakrawala yang mungkin takkan terlihat.
Dan saat fajar menyingkap malam, Â
Terus berlayar, Â
Tak meminta tepian, Â
Tak menagih upah. Â
Biduk itu, Â
Adalah perjalanan yang tak mengenal tepi, Â
Sebuah dedikasi abadi, Â
Yang tak berhenti, Â
Bahkan ketika laut tak lagi berombak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H