Peneliti muda. Beberapa orang terutama yang berkecimpung di dunia penelitian tentu mengenal istilah ini. Istilah lain dalam bahasa Inggrisnya disebut Young Scientist (YS). Kalau kita sering membaca koran atau media massa online, maka hampir setiap tahunnya kita sering melihat berita anak Indonesia bawa pulang medali emas, perak, atau perunggu dari negara A, B, C,....... mulai dari juara di tingkat lokal sampai internasional.
Berita ini selalu ada setiap tahunnya mulai dari tahun 2000-an atau mungkin sebelum saya lahir pun sudah sering berita ini ada. Lantas, apa hubungannya peneliti muda dengan anak Indonesia yang bawa medali di lomba sains eksak atau sosial? Merekalah yang disebut young scientist.
Menurut Early Career Scientist (ECS), definisi Young Scientist (YS)Â adalah orang yang berumur 35 Â tahun ke bawah dan sudah mendapatkan gelar S1/S2/S3 dalam kurun waktu 7 tahun. Itulah definisi YS.
Kompetisi ilmiah pun sudah semakin banyak mulai dari OSN sampai CYS. Namun, ada pertanyaan yang mengganjal dalam diri saya ketika  mendekati masa lulus kuliah di bidang bioteknologi. Pertanyaan itu adalah sudah belasan bahkan puluhan tahun Indonesia membuat kompetisi ilmiah (OSN sudah lebih dari 10 tahun dan PIMNAS pun sudah 30 tahunan dilaksanakan) tapi kenapa perkembangan sains di Indonesia kok gitu-gitu aja? (yang lagi kuliah di bidang eksak pasti tahu apa yang saya maksud).Â
Seperti yang saya tulis sebelumnya, hampir tiap tahun, anak muda Indonesia mendapatkan bawa medali (belum termasuk partisipan lombanya yang bisa jadi kemampuannya juga baik tapi kurang beruntung tidak juara) tapi sekali lagi, perkembangan sainsnya juga masih kurang. Apakah orang Indonesia kurang cerdas? Nggak juga karena mereka masih bisa kok bersaing dan dapat medali di ajang internasional. Jadi, masalahnya di mana? Sementara itu, masyarakat juga punya persepsi bahwa peneliti Indonesia tidak didukung oleh pemerintah (meskipun sebenarnya pemerintah juga mendukung perkembangan peneliti Indonesia melalui lomba OSN, PIMNAS, dan lomba lainnya).
Pengalaman saya ketika menjadi peneliti adalah kesulitan dalam berkomunikasi. Ketika saya ketemu jurnal yang menarik dan ingin tahu lebih dalam, kadang saya rela kontak email mereka. Lucunya, biasanya yang membalas email saya adalah orang luar negeri sedangkan peneliti Indonesia sampai detik ini pun belum pernah membalas email saya. Â Saya sampai gagal paham apa salah saya terhadap mereka. Bayangkan jika yang mengirim email itu investor, bukankah mereka sudah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hibah penelitian dengan tindakan seperti itu?
Jadi, saat ada ide biasanya eksekusi penelitiannya dilaksanakan oleh universitas itu sendiri meskipun sebenarnya proses penelitian bisa lebih cepat dan maksimal jika kerja sama dengan universitas yang peringkatnya di atas universitas tersebut. Â Sekali lagi, saya tahu informasi ini dari pengalaman orang-orang dan alasan ini pula yang mendasari mereka tidak mau kerja sama dengan universitas lain. Anda bisa mengkoreksi saya jika saya salah mengenai hal ini.