Mohon tunggu...
Sabda
Sabda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Cerpen dan Puisi

Kesenangan semu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita di Sore Hari

16 Desember 2021   20:46 Diperbarui: 16 Desember 2021   20:51 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/

Sore ini tak sama seperti kemarin. Kau duduk disampingku menemani bagian terakhir pada hari yang melelahkan. Bercerita tentang putri dan pangeran. Tak diubah. Sejak aku baru bisa mengenal bahasa. Kau selalu melakukannya. Dan ibu selalu menemani kita. Menyiram bunga kamboja yang ada didepan teras rumah. Ikut tertawa bersama kami karena ekspresimu yang lucu menirukan suara seorang putri. Meski ini selalu kau lakukan setiap hari.

Kau cinta pertamaku, bagai pangeran yang selalu diceritakan. Membahagiakan putri, menjaganya, menghiburnya disetiap dia bersedih dan mengawasinya. Aku dan ibu adalah putri yang sangat dicintai pangeran dalam ceritamu. Tapi aku sadar hidup tak sesederhana itu dan cinta tak serumit definisimu.

Ketika aku beranjak remaja, kau jarang bercerita lagi. Dan kau jarang pulang kerumah. Ibu bilang kau sedang mencari cerita yang baru dan akan menceritakannya lagi padaku. Ditempat dimana ada seorang putri dan pangeran yang baru. Alur cerita yang baru, juga perjuangan pangeran menjaga putri yang tidak sama seperti yang dulu kau ceritakan padaku.

Lalu Ibu menggantikan posisimu dikursi yang dulu hangat oleh tubuhmu. Tapi ceritanya berbeda, ibu mungkin lebih menyukai cerita tentang sebuah alam khayal. Dimana seorang putri yang hidup sendiri dengan ditemani burung elang.

Putri bisa menciptakan es dari tangannya dan akan membekukan hati siapa saja yang menyakiti burung elang. Cerita ibu tak berulang -- ulang seperti ceritamu. Ibu lebih pintar. Setiap sore, ibu mempunyai cerita baru tentang petualangan putri dan burung elang yang selalu menemaninya. Dan cerita ibu berakhir disaat putri membekukan hatinya sendiri dan pergi menghilang, karena dia tak mau burung selalu mengikutinya. Sang putri ingin burung itu bisa terbang bebas, memburu mangsa sendiri dengan cakarnya , melihat dunia yang lebih luas jika dilihat dari atas dan putri ingin burung elang itu menemui pasangannya suatu saat.

Hingga hari ini, cerita ibu masih dapat kulihat dalam duniaku. Disetiap sore aku selalu duduk di depan teras walau kau dan ibu tak lagi menemaniku. Melihat burung-burung dilangit pulang mengikuti arah angin dan mungkin ibu juga ikut terbang mengikuti mereka.

Kaupun akhirnya pulang untuk menetap sejenak. Membasahi kerinduanku tentang suaramu dalam bercerita. Tak seperti dulu, meninggalkan aku dan ibu untuk mencari cerita. Satu hari  menemaniku lagi bercerita didepan teras. Tanpa ada yang lagi menyirami bunga kamboja dan mati. Karena sudah lama hujan tak turun dan ibu tak lagi merawatnya dengan cinta.

Ternyata ceritamu tak berubah, sama seperti dulu ketika kita mengisi sore hari. Aku tak mengerti mengapa ibu memahamiku jika kau mencari cerita baru. Atau kau mungkin tak mendapatkan cerita baru tentang pangeran dan putri. Kau terlalu lelah. Kaupun pulang menyerah dengan perjalananmu tanpa cerita. Apapun itu, aku senang kau kembali.

Tak beberapa lama sesosok wanita keluar dari mobilmu. Tersenyum manis kearahmu tanpa melihatku. Lalu seorang anak kecil melompat dan berlari kearahmu. Memanggilmu ayah. Memelukmu dan meminta untuk bercerita. Seperti yang aku lakukan dulu, berlari ke arah dirimu yang duduk di kursi teras. Menyandarkan tubuhku kedadamu dan merengek untuk diceritakan putri dan pangeran sambil menatap langit yang mulai menguning karena senja.

Aku diam. Aku memandangmu dengan penuh kenangan.  Tanganku bergetar. Mungkin ibu benar, kau telah menemukan cerita baru tentang putri dan pangeran. Karena cerita yang dulu sudah membosankan bagimu.

" Ayu, salim ke ibumu. Trus ini Angga, adikmu ." Kau beranjak dari kursi menyejajari mereka yang berdiri didepanku, menutupi bunga kamboja yang dulu selalu ibu rawat.    

Ayah, ternyata ada dua orang memanggilmu seperti itu. Aku dan anak kecil itu. Mataku tak bisa melihatmu lebih lama. Terlalu banyak kebahagiaan bagimu ditengah kesedihan saat ini. Aku menangis ayah. Aku menangis didepanmu, yang tak pernah kulakukan. Apa mungkin aku dan ibu tak bisa menjadi putri seperti yang ada di ceritamu. Lalu kau pergi mencari cerita lain, menemukan seorang putri dan pangeran kecil.

Aku tahu kau merasakan air mataku yang telah membuatmu bersalah. Tapi kau masih teguh dan merasa benar dengan egomu untuk memilh jalan yang telah terjadi. Tanpa ada yang ku ketahui, kecuali ibu. Wanita disebelahmu hanya menatapku kasihan yang memelas. Dia bukanlah siapa siapa bagiku, tak mungkin dia bisa mengerti. Begitu pula pangeran kecil dalam ceritamu kini, dia sangat asing bagiku untuk kupanggil adik.

###

Tak mungkin aku harus terbayang dengan cerita sedih yang telah kau buat untukku. Biarkan aku terus mengisi sore diteras rumah dengan cerita yang kubuat sendiri, tapi terkadang aku juga ingin mengulang cerita darimu dulu dan cerita ibu. Tentang seorang putri dan pangeran juga putri dan burung elang. Biarkan  aku akan terus mengingat hangatnya pelukannmu, walau sekarang kau mungkin tak ingat bagaimana caranya memeluk. Karena kau sudah lupa tentang apa itu kasih sayang. Atau kau sudah lupa untuk membaginya. Antara aku, ibu dan cerita barumu.

Ayah, tapi aku tak akan membencimu dan aku tak akan bisa. Kau cukup berarti menghiburku disaat kecil. Meski sekarang kau pergi dengan orang lain yang selalu memintamu diceritakan sebuah cerita petualanagan yang lebih seru. Aku tak keberatan, aku sangat berterimaksih kau telah memberikan tamparan bahwa semua tak akan selalu berjalan dengan  apa yang diinginkan.

 Ayah, aku mengisi kursimu dan akan melanjutkan bercerita untuk anakku. Aku tak mau bayangmu terhapus oleh waktu di kursi ini. Aku juga menanam bunga kamboja di depan teras, seperti yang ibu lakukan. Anakku suka dengan ceritaku, tapi terkadang aku juga menceritakan ceritamu lalu besoknya cerita ibu. Dia juga suka bertanya tentangmu dan ibu.

 Dia ingin bertemu denganmu, karena dia penasaran dengan ekspresimu menirukan suara putri yang selalu membuatku dan ibu tertawa. Sayang, aku tak mau merusak ceritamu yang telah kau cari setelah pergi meninggalkan rumah ini. Aku tak akan mencarimu lagi. Aku biarkan kau terbang bebas seperti burung elang dalam cerita ibu. Tapi kau tetap menjadi pangeran bagiku.

Kau mungkin masih bercerita ditempat yang bisa membuatmu lebih bahagia. Tapi aku yakin, kau masih punya cerita untukku, untuk mengenang sehari saja. Tentang sore hari dimana kau bercerita dan ibu menyiram bunga kamboja. Tapi wanita dan pangeranmu selalu menuntutmu melupakan cerita lamamu.

 Ayah. Kau telah menjadi saksi bisuku tumbuh menjadi putri yang kuat. Yang akan menjaga ceritaku tanpa harus mencari cerita baru sepertimu. Karena aku tak mau, pangeran kecilku menangis dalam diam seperti bekunya hatiku tentang keberadaan seorang ayah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun