“Tidak apa. Lebih baik berlebih daripada kekurangan.”
Ragu-ragu, tapi akhirnya Bibi Emna pun mengangguk. “Ada lagi yang nona inginkan?”
“Sudah tidak ada. Bibi boleh pergi.”
Tak lama setelah Bibi Emna pergi, Alice mulai merapikan dirinya lalu pergi ke ruang makan. Di sana sudah tersedia beberapa lembar roti, selai, dan keju. Wanita itu hampir mengambil keju, tapi tiba-tiba teringat mimpinya tadi. Gadis kecil yang mengunyah keju, memandangnya dengan mata nanar.
Perasaan tidak nyaman mulai menghantuinya lagi. Dengan terburu-buru Alice menyambar selembar roti lalu mengolesinya dengan selai, setelah itu dia berlari ke kebun. Berada di luar rumah terasa lebih menenangkan untuknya.
“Nona Alice,” sebuah suara menyapanya.
Wanita itu menoleh. Kakek pengurus kebun berdiri tidak jauh darinya. Tangan-tangan kakek itu memegang peralatan berkebun.
“Bagaimana?” tanya kakek itu. “Nona suka rumah ini?”
Rumah besar ini memang belum lama dibelinya, sekitar satu bulan yang lalu. Biasa dia tinggal bersama kakaknya, tapi sekarang dirinya ingin mencoba hidup terpisah sebelum membentuk keluarga baru.
“Iya,” jawabnya sedikit canggung. “Rumah yang bagus, aku suka temboknya yang bercat kuning, seperti keju. Dan kebunnya juga sangat terawat.”
“Syukurlah, nona menyukai hasil kerja saya,” balas kakek itu terlihat gembira. “Rumah ini dan tamannya memang sudah lama menjadi bagian dari hidup saya.”