Oleh Emanuel Dapa Loka
Ada yang menarik dari pengamatan Hanna Arent terhadap perangai Adolf Eichmann di ruang persidangan atas kejahatan Eichmann pada perang dunia ke-2.
Wartawan The New Yorker itu  dalam beberapa kali persidangan antara 11 April 1961 sampai 14 Agustus 1961 di Yerusalem menemukan bahwa Eichmann adalah orang biasa yang sama sekali tidak nampak kejam. Sebaliknya, dia adalah warga negara yang patuh pada hukum.
Sebagai prajurit, tugas utama Eichmann adalah mengatur transportasi jutaan orang Yahudi dari seluruh Eropa ke kamp-kamp konsentrasi buatan Nazi. Dan, dia melakukan dengan baik.
Yang Hanna Arent temukan sejalan dengan pandangan Seyla Benhabib seorang filsuf Amerika kelahiran Turki.
Menurut Seyla, pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Atau, kejahatan yang brutal  bisa mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa.
"Fenomena Eichmann" tersebut tidak jarang terhampar di sekitar kita. Lihatlah para koruptor---pelaku extraordinary crime atau pelaku kejahatan berstadium "Luar biasa" itu. Wajah mereka bening nan kiclong. Senyuman manis mereka pun bisa membuat jantung kita berdebar-debar.
Begitu dahsyatnya senyum mereka itu, orang tidak menduga bahwa di balik senyum dan wajah itu bercokol kelakuan busuk (corruptio).
Ternyata di balik wajah dan batok kepala mereka itu tidak ada daya selam yang cukup. Jangkauan pikiran dan imajinasi orang-orang hanya sejauh tembakan air kencing mereka. Mereka tidak mampu berimajinasi tentang akibat jauh dari tindakan mereka.
Bayangkan! Ketika diinterogasi oleh dua orang polisi, Eichmann  mengatakan bahwa penyesalan terbesarnya adalah tidak dipromosikan ke tingkat yang lebih tinggi di SS Nazi Jerman pada masa itu. Dia sama sekali tidak punya bayangan atas kejahatannya.
Menyangkut imajinasi, petinju legendaris Muhammad Ali mengatakan The man who has no imaginations, has no wings to fly, manusia yang tidak memiliki imajinasi, tidak memiliki sayap untuk terbang.
Bagi Ali, imajinasi itu sangat penting, sebab dengan itu, siapa pun bisa terbang bebas ke mana saja ia mau. Imajinasi pada gilirannya akan melahirkan sesuatu yang luar biasa. Terbukti, aneka produk daya imajinasi telah menggoncang dunia.
Jelas, Eichmann dan para koruptor tidak memiliki imajinasi untuk terbang melihat penderitaan orang-orang akibat kejahatan mereka.
Betapa pentingnya imajinasi dan keberpikiran itu. Tanpa imajinasi Thomas Alva Edison, dunia yang kita diami hari ini masih gelap gulita. Imajinasilah yang membuat Thomas Alva Edison tidak berputus asa melakukan eksperimen demi eksperimen sampai akhirnya ia berhasil menemukan lampu pijar yang menerangi dunia.
Konon, baru pada percobaan ke-1.000, Thomas Alva Edison baru berhasil menciptakan lampu pijar yang benar-benar menyala dengan terang. Dia tidak hanya berimajinasi atas keberhasilan percobaan itu sendiri, tapi imajinasi membawanya terbang jauh ke masa depan melihat manfaat yang timbul.
Ya, imajinasi Thomas Alva Edison telah menerangi seantero dunia ini. Atau tanpa imajinasi Leonard Kleinrock, sang penemu internet, kita masih terkungkung dalam batas-batas dunia yang mustahil kita retas. Atau satu lagi, tanpa komputer hasil cipta dan imajinasi Charles Babbage, kita masih berkutat dalam kerja-kerja manualistik.
Abai pada Imajinasi
Hari ini, banyak orang yang abai pada kekuatan imajinasi, karenanya perlu diingatkan kembali. Dengan kekuatan imajinasi, siapa pun bisa membayangkan akibat dari setiap tindakan yang ia lakukan.
Andai seorang koruptor atau calon koruptor menghidupkan imajinasinya, niscaya di pelupuk matanya akan terbayang wajah mereka yang layu karena kurang gizi atau malah mengalami gizi buruk.
Dan dengan kekuatan imajinasi pula mereka bisa membayangkan kata-kata Aristoteles yang mengatakan bahwa kejahatan merusak jiwa.
Kata Aristoteles seperti dikutip  Reza A.A. Watimena dalam Filsafat Anti Korupsi, seorang yang berbuat jahat, hanya tampaknya saja menang dan berkuasa, tapi sebenarnya jiwanya menderita.
Oleh karenanya filsuf Yunani dan murid Plato itu menasihati, jika ingin jiwanya selamat, orang harus memilih menderita daripada melakukan kejahatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H