Bagi Ali, imajinasi itu sangat penting, sebab dengan itu, siapa pun bisa terbang bebas ke mana saja ia mau. Imajinasi pada gilirannya akan melahirkan sesuatu yang luar biasa. Terbukti, aneka produk daya imajinasi telah menggoncang dunia.
Jelas, Eichmann dan para koruptor tidak memiliki imajinasi untuk terbang melihat penderitaan orang-orang akibat kejahatan mereka.
Betapa pentingnya imajinasi dan keberpikiran itu. Tanpa imajinasi Thomas Alva Edison, dunia yang kita diami hari ini masih gelap gulita. Imajinasilah yang membuat Thomas Alva Edison tidak berputus asa melakukan eksperimen demi eksperimen sampai akhirnya ia berhasil menemukan lampu pijar yang menerangi dunia.
Konon, baru pada percobaan ke-1.000, Thomas Alva Edison baru berhasil menciptakan lampu pijar yang benar-benar menyala dengan terang. Dia tidak hanya berimajinasi atas keberhasilan percobaan itu sendiri, tapi imajinasi membawanya terbang jauh ke masa depan melihat manfaat yang timbul.
Ya, imajinasi Thomas Alva Edison telah menerangi seantero dunia ini. Atau tanpa imajinasi Leonard Kleinrock, sang penemu internet, kita masih terkungkung dalam batas-batas dunia yang mustahil kita retas. Atau satu lagi, tanpa komputer hasil cipta dan imajinasi Charles Babbage, kita masih berkutat dalam kerja-kerja manualistik.
Abai pada Imajinasi
Hari ini, banyak orang yang abai pada kekuatan imajinasi, karenanya perlu diingatkan kembali. Dengan kekuatan imajinasi, siapa pun bisa membayangkan akibat dari setiap tindakan yang ia lakukan.
Andai seorang koruptor atau calon koruptor menghidupkan imajinasinya, niscaya di pelupuk matanya akan terbayang wajah mereka yang layu karena kurang gizi atau malah mengalami gizi buruk.
Dan dengan kekuatan imajinasi pula mereka bisa membayangkan kata-kata Aristoteles yang mengatakan bahwa kejahatan merusak jiwa.
Kata Aristoteles seperti dikutip  Reza A.A. Watimena dalam Filsafat Anti Korupsi, seorang yang berbuat jahat, hanya tampaknya saja menang dan berkuasa, tapi sebenarnya jiwanya menderita.
Oleh karenanya filsuf Yunani dan murid Plato itu menasihati, jika ingin jiwanya selamat, orang harus memilih menderita daripada melakukan kejahatan.