Mohon tunggu...
Tempe Tahu
Tempe Tahu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Hidup: Lebih dari Itu

15 Februari 2016   05:34 Diperbarui: 7 Juni 2016   15:09 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya termasuk orang yang beruntung. Saya memang tidak dilahirkan dalam keluarga kaya, malah sering kali perlu menghemat demi masalah makanan. Tetapi saya cukup beruntung untuk mendapat beasiswa sehingga dapat menuntut pendidikan di luar negeri. Saya dibesarkan dalam keluarga Islam yang religius, dan saya sendiri tetap terus beribadah meskipun merantau di lingkungan yang liberal. Tapi, beruntungnya lagi, keluarga saya tidak pernah mengekang saya.

Tapi, saya tetaplah penakut. Saya tidak berani terbuka kepada teman-teman, saudara, dan orang tua saya, khususnya dalam suatu hal. Jika saya bisa menambahkan, saya tidak khawatir akan pendapat mereka, entah mereka bertindak supportive atau tidak. Karena saya sendiri tahu dengan pasti, di lingkungan di Indonesia, kondisi saya masih belum dapat diterima. Memang apa sih kondisi saya? Saya adalah seorang homoseksual.

Berbicara tentang seksualitas saya, saya ingin bercerita tentanh masa kecil saya. Saya sendiri sudah menyadari bahwa saya tertarik dengan pria sejak Sekolah Dasar. Waktu itu, apa yang saya rasa hanyalah berupa rasa kagum kepada beberapa teman-teman lelaki saya. Lalu, semakin saya menuju masa remaja, semakin saya tahu bahwa saya benar-benar memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis. Saya bahkan pernah memiliki rasa cinta terhadap sahabat saya. Pada saat-saat itu, itu saya pikir ada yang salah dalam diri saya. Saya terus mencoba menahan apapun untuk tidak tertarik dengan sesama jenis. Saya mendekati beberapa teman lawan jenis, dengan harap saya dapat move on ke mereka dan mencintai lawan jenis.

Saya juga seringkali mencoba melihat gambar dan film senonoh berisikan perempuan telanjang. Saya tahu itu tidak benar, tetapi saya hanya berusaha untuk mengubah seksualitas saya. Dan itu pun tidak pernah berhasil, dan tidak akan pernah berhasil. Hingga beberapa bulan yang lalu, saya terus frustasi akan identitas saya. Saya adalah seorang homoseksual, tetapi pada saat yang bersamaan, saya adalah orang yang religius. Saya tidak pernah melepas sholat lima waktu, dan selagi di Indonesia, saya pun aktif di rohani Islam SMA. Dan sebagai umat beragama, saya juga ingin masuk surga.

Saya pun menganalisa apa yang dalam kitab suci saya, kitab suci Al-Quran. Pendapat saya kurang lebih sama seperti yang disampaikan oleh seorang ilmuwan islam terkemuka, Prof. Dr. Musdah Mulia, dikutip dari madinaonline.id:

“Pertama, tidak ada satupun ayat Al Qur’an yang mengharamkan LGBT.

Kedua, ayat-ayat yang selama ini digunakan sebagai rujukan pengharaman LGBT adalah ayat-ayat Al Quran yang bercerita tentang azab Allah terhadap umat Nabi Luth   (al-Naml, 27: 54-58; Hud, 11:77-83; al-A’raf, 7: 80-81; al-Syu’ara, 26:160-175). Kaum tersebut digambarkan sebagai kaum yang melakukan pembangkangan dan kedurhakaan, termasuk perilaku seks yang di luar batas dan keji. Memang ada ayat yang mengesankan  bahwa salah satu perilaku seks yang dihujat oleh Nabi Luth adalah perilaku seks gay. Namun dalam tafsiran Musdah, sangat mungkin yang sebetulnya dihujat sebagai perbuatan keji tersebut bukan perilaku seks sesama jenis melainkan praktek sodomi  (yang diwakili oleh misalnya istilah al-fahisyah dalam al-A’raf, 7:80).

Dengan kata lain, Musdah menduga, yang dilaknat Allah bukanlah LGBT, tapi perilaku seks yang keji dan di luar batas. Salah satu praktek perilaku seks yang masuk dalam kategori ini adalah sodomi. Dengan kata lain, LGBT tidak dikutuk tapi  sodomi dikutuk. Dan sodomi dikutuk bila dilakukan baik antar sesama jenis atau dengan lawan jenis.

Ketiga, umat Nabi Luth itu sama sekali tidak identik dengan kaum homoseksual. Dalam ayat-ayat Al Quran tersebut secara jelas diungkapkan bahwa masyarakat tersebut juga melakukan perkawinan pria dan wanita. Dengan kata lain, kutukan terhadap umat Nabi Luth tidaklah identik dengan kutukan terhadap kaum homoseksual.”

Dalam ayat-ayat tersebut, memang tidak disebutkan bahwa ketertarikan antara sesama jenis adalah sesuatu yang salah maupun tidak alami. Saya pun menarik kesimpulan bahwa ketertarikan antara sesama jenis tidaklah salah. Laki-laki dan perempuan memang diciptakan berpasangan untuk memiliki keturunan, tapi tak menutup kemungkinan bahwa ketertarikan sesama jenis adalah hal yang alami pula. Keberadaan saya tidaklah salah dan tidak ada yang salah dalam diri saya.

Saya tidak pernah memilih untuk tertarik dengan sesama jenis, dan saya berhak untuk tidak disalahkan. Jika saya bisa memilih, tentunya saya akan memilih untuk tertarik dengan perempuan. Kenapa tidak? Coba pikir, jika saya dapat tertarik dengan perempuan, saya dapat menikah dengan orang yang saya cintai, membangun keluarga dengan aman, dan memiliki keturunan. Dan yang pastinya saya dapat diterima oleh masyarakat. Logikanya, jika saya bisa memilih yang jauh lebih baik dan aman, kenapa saya memilih yang lain? Jawabannya jelas: karena seksualitas bukan lah pilihan! 

Di masa depan, tentunya saya ingin kembali dan membangun Indonesia. Tetapi, terkadang ada rasa takut, untuk kembali dan tinggal. Saya tahu masyarakat akan bereaksi secara tidak langsung. Ketika di usia pertengahan 30 tahun saya, mereka akan mulai menggosipi saya karena saya belum menikah. Saya sendiri berkomitmen untuk tidak akan pernah menikah, apalahi hanya untuk menutup-nutupi seksualitas saya. Saya tidak ingin menikahi perempuan yang saya tidak pernah cintai dan menyakiti hati perempuan tersebut.

Kenyataannya, banyak sekali rumah tangga di luar sana yang tidak harmonis karena salah satu dari pasangan tersebut tidak pernah benar-benar mencintai satu sama lain, dan banyak dari mereka yang aslinya bukanlah heteroseksual. Saya tidak mau menjadi seperti mereka. Saya lebih memilih untuk hidup sendiri dan tidak menikah, dibanding menyakiti orang lain dan memiliki keluarga yang tidak harmonis.

Sebagai reaksi terhadap maraknya isu LGBT di Indonesia, saya harap masyarakat Indonesia dapat lebih terbuka dengan saya dan orang-orang yang senasib dengan saya. Kami bukanlah ancaman, kami hanya butuh dukungan. Saya pun berharap Komnas HAM yang mengerti akan kasus ini juga dapat proaktif berjuang demi kesetaraan di negeri ini. Dari saya sendiri, saya tidak menuntut hal yang muluk-muluk seperti pernikahan sesama jenis. Saya hanya ingin bisa hidup dengan aman tanpa kebencian di negeri ini. Saya ingin orang tetap dapat menghargai saya, terlepas dari apapun seksualitas saya. Sebab jati diri saya lebih dari hanya seorang homoseksual.

--------------------------------------------------------------------------------

Catatan: Mohon maaf jika saya hanya bisa menggunakan nama samaran/secara anonymous.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun