Mohon tunggu...
Aprizal Junaidi
Aprizal Junaidi Mohon Tunggu... ASN -

Menyukai Semua Hal Tentang Laut, dan Berupaya menjadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Hari Nusantara: Laut Kita Warisan Kita, Masa Depan Bangsa

13 Desember 2018   11:02 Diperbarui: 13 Desember 2018   12:38 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : https://www.bastamanography.id/

Sebagai Negara kepulauan dengan laut sebagai pengubungnya, sudah sepatunya kita merasa bangga akan kondisi geografis tersebut. Ditambah sejarah telah bercerita panjang tentang kejayaan penggunaan laut pada masa lalu sebagai wahana untuk saling berkomunikasi.

Terbukti dengan adanya jejak-jejak kejayaan kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara (Sriwijaya, Majapahit, Malaka, Makassar, Ternate, Tidore, Samudera Pasai, atau Demak) berabad-abad silam yang mengutamakan laut sebagai pusat segala kegiatan. Paradigma mereka.

Hal tersebut sudah dibuktikan oleh Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, dua kekuatan kerajaan Nusantara tersebut bisa menjadi besar karena bisa menguasai laut yang berhasil mengontrol perniagaan di seluruh Asia Tenggara melalui kekuatan militier yang kuat.

Namun seiring tenggelamnya kerajaan-kerajaan maritim akibat adanya pengaruh pedagang eropa pada abad 16 yang membatasi jaringan pelayaran Nusantara dengan dunia maritimnya melalui kolonialisme dan imperialisme, paradigma kelautan seakan sirna. Fokus perhatian beralih ke daratan, hingga Laut terabaikan.

Proses yang terus berlangsung hingga menjelang kemerdekaan. Kesadaran kembali ke laut mulai bangkit melalui gagasan salah satu bapak pendiri bangsa (Founding Fathers). Muhammad Yamin yang dengan tegas mengingatkan bahwa Indonesia tidak hanya terdiri dari pulau dan daratan, tetapi laut juga sebagai sumber kemakmuran melalui konsep tunggal "Tanah Air" dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 31 Mei 1945.

Namun perjuangan mengintegrasikan laut kedalam wilayah Indonesia seakan terhalang oleh konsepsi Territoriale Zeen Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) 1933 yang menyebutkan bahwa sebagai negara bekas kolonialis Belanda maka sesuai dengan prinsip hukum internasional uti possidetis juris wilayah perairan Indonesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau hanya selebar 3 mil sedangkan selebihnya merupakan laut/zona bebas.

Berdasarkan fakta itulah, presiden Soekarno menugaskan perdana menteri Djuanda untuk memperjuarkan pengakuan internasional bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan (Archipelago State) dengan demikian, konsepsi TZMKO 1939 sebagai warisan kolonial Belanda tidak dapat diterapkan untuk wilayan NKRI melalui deklarasi djuanda yang dicentuskan pada tanggal  13 Desember 1957 yang kemudian diperingati sebagai Hari Nusantara setiap tahunnya melalui Kepres No. 126/2001.

Dan Setelah melalui perjuangan diplomasi yang panjang, akhirnya deklarasi djuanda ini dapat diterima dunia internasional dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya diratifikasi dengan menerbitkan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Namun sekali lagi, momentum pengakuan tersebut tidak serta merta menjadikan laut sebagai salah satu sebagai sumber kemakmuran seperti yang di inginkan oleh founding father, hal ini lebih disebabkan adanya kebijakan Presiden Soeharto pada masa itu, yang cenderung berorientasi ke darat, sebagai sisa-sisa hasil paradigma kolonial Belanda.

Dan setelah menunggu terlalu lama, kesadaran tersebut kembali digaungkan oleh presiden Joko Widodo melalui kebijakan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim, dengan menegaskan konsep Indonesia Poros Maritim Dunia dengan agenda pembangunan difokuskan pada 5 (lima) pilar utama , yaitu : 

(1) Membangun kembali budaya maritim Indonesia; 

(2) Menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama; 

(3) Memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritime; 

(4) Menerapkan diplomasi maritim, melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritim dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut dengan penekanan bahwa laut harus menyatukan berbagai bangsa dan negara dan bukan memisahkan; dan 

(5) Membangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.

Melalui kebijakan tersebut, presiden Joko Widodo sadar betul bahwa selama ini, bangsa Indonesia telah terlalu lama "memunggungi laut"  dan berusaha menjadikan laut sebagai arah baru pembangunan dan pemanfaatan melalui kebijakan poros maritim dunia tersebut.

Tentunya kebijakan tersebut seakan menjadi penyadar, bahwa Indonesia telah cukup lama mensia-siakan potensi kelautan yang dimiliki, dan cenderung mengabaikannya. 

Selama beberapa dekade terakhir, banyak potensi laut Indonesia dinikmati oleh negara-negara asing melalui marakanya kegiatan illegal fishing yang merupakan salah satu kerugian besar bagi Indonesia, karena hasil perikanan banyak lari ke Negara lain yang menyebabkan penghasilan nelayan berkurang, dan tentunya berdampak pada kesejahteraan nelayan yang terus menurun, sehingga menyebabkan mereka cenderung mencari pekerjaan lain selain nelayan, ditambah potensi pariwisata kelautan yang terbaikan serta migas di laut dikuasai asing,  dan anggapan laut sebagai hambatan transportasi karena minimnnya kapal dan serta pelabuhan telah menjadikan laut sebagai potensi yang terbaikan.

Padahal potensi kelautan dan perikanan Indonesia, merupakan salah satu yang terkaya di dunia, dengan luas wilayah lautan mencapai 2/3 (dua per tiga) dari seluruh wilayah Indonesia yang seluas 6.32 juta kilometer persegi (km2), dan jumlah pulau sekitar 17.500 serta panjang garis pantai mencapai 81.000 km2 yang merupakan terpanjang kedua setelah Kanada.

Melihat potensi yang besar tersebut, sudah selayaknya kita mengalihkan paradigma untuk kembali mengelola laut yang lama terbaikan, dengan memanfaatkan potensi tersebut secara mandiri dan bertanggung jawab, melalui berbagai sektor, seperti perikanan, pariwisata, perhubungan, migas, dan lain-lain, sehingga kejayaan pemanfaatan laut di zaman nenek moyang kita, yang seorang pelaut dapat terulang bahkan lebih baik.

Karena sejarah telah mencatatat kejayaan nenek moyang kita di masa lampau yang memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan, yang seharusnya menjadi warisan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat Indonesia dan masa depan bangsa, dengan menjadikan laut Nusantara sebagai paradigma utama pembangunan, karena di laut kita Jaya "Jalesveva Jayamahe"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun