Hj. Metia? Oh, iya baru ingat. Bukankah Ahim bisa datang dengannya? Untuk meyakinkanku bahwa dia bukan orang sembarangan.
"Bude Metia melaksanakan ibadah Umrah mendampingi ibu-ibu pengajian, tiga hari lagi baru pulang. Bude berjanji akan segera kemari untuk membicarakan banyak hal dengan Ibu, Insya Allah." Ahim berkata seakan tahu apa yang ingin ditanyakan olehku. Bahasa tubuhnya luwes sekali. Pemuda yang simpatik.
Kegamanganku mulai hilang. Rasanya tak pantas terlalu memvonis teman Ghania sebagai anak serampangan. Pasalnya Ghania selalu berhati-hati dalam pergaulan. Bahkan sudah pernah kutanyakan sejak lama apakah Ghania pernah punya pacar. Ghania malah balik bertanya bagaimana pacaran menurut hukum Islam. Haram, Ummi. Dijawabnya lantang, setelah aku terdiam lama. Â
Pacarku tak terhitung banyaknya, Eits, jangan salah sangka. Pacaran jaman dulu hanya datang untuk apel dan berbincang dengan Ayahanda. Lalu main catur sampai larut, setelah itu mereka kapok datang lagi. Hanya Kang Zola, Ayah Ghania, yang masih bertahan. Soalnya selalu menang dan diizinkan ngobrol berdua di teras rumah sampai pukul sembilan.
"Ummi, bagaimana? Apa lamaran Mas Ibrahim diterima?" tanya Ghania lembut dengan nada penuh harap.
"Ayah ibumu tak bisa juga menemani? Bukankah ini perkara penting? Tak bisakah mereka datang barang sebentar?"
Aih, rasanya hatiku seperti perempuan barbar di hadapan anak-anak muda berjiwa bersih.
"Mas Ibrahim sudah lama sebatang kara, hanya ada adik perempuannya yang kini masih di bawah perawatan seorang tenaga medis di rumahnya. Jadi sulit untuk membawanya kemari."
"Loh? Sakit apa?" tanyaku agak khawatir karena pasti berat.
"Down syndrome, sejak lahir, sekarang kondisinya kurang sehat." ujar Ahim perlahan. Kulihat sekilas bulir-bulir bening menggenang di matanya
Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak. Tak lama. Kuatur nafasku, tarikan nafasku dalam dan berat. Embusannya pasti terdengar oleh mereka.