Rupanya Ghania sudah menyimak pembicaraan antara aku dan Ahim.
"Duduklah, Ummi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa kau begitu mudah mempercayai orang yang baru kau kenal?"
"Ummi juga heran, kau baru saja menolak lamaran saudara dekat kita. Kau sudah mengenalnya dengan baik dan orangtuanya juga yang membiayai sekolahmu,"
"Ummi harap kau bisa membalas budi." sahutku ketus. Kulirik wajah Ahim agar tahu reaksinya. Sikapnya masih setenang air dalam bejana.
Ghania juga tetap kalem bahkan tersenyum simpul. Diraihnya tanganku dan diletakkan di pipinya yang putih dan lembut. Kerudung berwarna biru malam yang dikenakan membuat wajahnya nampak lebih putih.
"Ummi sayang, Ghania memang tak pernah bicara panjang lebar berduaan dengan Mas Ibrahim."
"Ghania tahu banyak tentang Mas Ibrahim dari seorang teman perempuan. Namanya Mbak Metia Halimah, masih saudara dekat Mas Ibrahim."
"Ummi juga kenal Mbak Metia kan? Beberapa kali beliau menjadi penceramah untuk pengajian ibu-ibu di masjid kita. Kalau tak salah empat kali, ya?"
"Hemm... Lalu?" tanyaku penasaran
"Karena Mbak Metia yang merekomendasikan Mas Ibrahim untuk menjadi calon suamiku, maka tak sepantasnya Ghania menolak." Dikecupnya lembut kedua tanganku yang sejak tadi tak dilepaskan dari genggaman.
Jurus maut Ghania beraksi. Bila sudah seperti itu sulit bagiku untuk berkata tidak. Tapi... Eh, ternyata untuk ini aku masih punya banyak alasan untuk tidak mengatakan iya dengan mudah. Perasaanku masih terganjal dengan status pendidikan dan perkenalan mereka yang singkat. Lalu mengapa Si Ahim datang sendirian saja tanpa ada yang menemani. Bukankan itu mencurigakan?