Hujan pukul empat sore sudah mulai reda. Sejenak aku bersantai meraih gawai sambil bersandar di kamar yang menurutku paling nyaman diantara kamar-kamar di seluruh dunia. Barangkali.Â
Kamar yang hanya punya satu lemari ukuran sedang, sebuah rak buku dan dua buah meja kecil. Meja sebelah kanan lemari berfungsi untuk meletakkan laptop dan lainnya sebagai tempat menaruh pernak-pernik serta buku.Â
Sebuah kasur ukuran sedang, tepat menghadap jendela yang selalu penuh cahaya. Udara segar bisa bebas keluar masuk dari nako yang senantiasa terbuka. Anehnya walaupun tanpa obat nyamuk, kamar ini terhindar dari nyamuk nakal yang mengganggu.Â
Seluruh bagian dinding kamar diberi cat broken white yang sepertiganya terdapat coretan pinsil warna, khas anak-anak. Terlihat sedikit berantakan tapi tidak terlampau mengganggu pandangan mata.
Bila udara di luar kamar sedang panas, kamar tanpa AC ini tetap dingin. Bila hujan, udara dalam kamar justru hangat. Luar biasa. Terkecuali bila setelah hujan berhari-hari dan panas matahari enggan menampakkan diri maka suhu udara di kamar persis villa yang berada di kawasan Puncak. Sangat dingin.Â
Entah sejak kapan buku biru itu tergeletak di atas tempat tidur, sepertinya anak-anak yang meletakkannya. Aku mengamati buku itu agak lama. Ah, buku karangan Soni Farid Maulana, Anak Kabut.Â
Seingatku aku tak pernah membaca buku ini. Buku antologi puisi yang tipis hanya terdiri dari 68 halaman, 34 judul puisi dan cover biru tua dengan gambar abstrak berwarna hitam yang kurang menarik perhatian.
Aku bahkan lupa pernah membelinya. Untung saja tanda tangan Pak Soni jelas tertera bersama tanggal pengiriman, 19/08/2017, begitu beliau menuliskannya.
Tepat di MABINI, judul puisi di halaman lima ditulis tahun 1990, pandangan mataku tertuju. Puisi ini sangat menarik perhatianku. Selain puisi tersingkat yang ada dalam buku ini, judulnya pun membuatku bertanya-tanya. Apa arti Mabini. Baru kali ini membacanya dan mendapat tantangan untuk mengerti artinya.Â
Isi puisi sederhana:
MABINI
Walau bulan berkilauan menerangi kalbuku
Walau suara musik menggoyang pendengaran jiwaku
Walau senyummu membangkitkan gairahku;
Kesepian nyatanya begitu kekal mengepung hidupku
Tanpa ampun
1990
Singkat. Sayangnya, alih-alih mencari makna dari puisi yang diungkap oleh beliau, aku malah sibuk mengisi battery gawai dan segera googling arti kata Mabini. Sampai sepuluh menit berlalu, pencarian arti Mabini hanya ada seputar Apolinario Mabini seorang pengacara, revolusioner di Filipina yang menjadi perdana mentri pertama. Hidup tahun 1864-1903.
Sambil menerawang dan mencari-cari kembali apa kaitan antara Mabini dan kesepian Soni yang tanpa ampun. Bagiku hanya satu yang masuk akal dan bisa jadi salah besar atau bahkan tepat sekali. Hanya pengarangnya yang tahu persis apa dimaksud dengan Mabini.
Menurut pikiranku, penulis sedang berada di sebuah hotel di Filipina yang terletak di jalan Mabini. Mengapa nama jalan? Bukankah bisa  saja nama hotel? Adalah sebuah kelaziman bila seorang tokoh di satu negara mendapat jatah nama jalan protokol.Â
Penulis Buku Anak Kabut saat itu tidak sendirian namun merasa kesepian. Di negeri asing yang cahaya rembulan begitu terang hingga menginspirasi kalbunya, musik mendayu-dayu yang penyanyinya seorang wanita yang bisa membangkitkan gairahnya. Tetap saja mereka adalah orang asing.Â
Bila dibaca di awal halaman setelah daftar isi, ada tulisan untuk Heni Hendrayani (sang isteri) dan kedua anaknya (saya duga). Penulis sedang rindu berat pada kehangatan keluarga.Â
Berkilauan kesenangan hidup yang ditawarkan di Mabini hanya sampai pada kesepian yang menyiksa. Luar biasa.
Tidak berhenti di Puisi Mabini, lanjut lagi membaca puisi berjudul DI NEGERI SALJU, _untuk Rendra tahun 1999. Sembilan tahun jaraknya dari Mabini.Â
Puisi berisikan kisah perjalanannya ke negeri salju diantaranya Belanda dan Paris dan membandingkannya dengan keadaan di Indonesia. Hampir mirip makian karena dua tahun sebelumnya di negeri ini krisis hebat terjadi dan masih berlanjut saat penulis melancong ke luar negeri.
Ah, ternyata Anak Kabut yang hampir keseluruhan puisinya menceritakan kisah tentang kesuraman, kepedihan dan tangisan cukup menarik dan membuat aku kembali tertarik untuk membaca puisi.
Aku jarang melakukan kontak lagi dengan Penulis buku ini cukup lama, padahal biasanya kami cukup akrab di Messenger dan Facebook. Terus terang semua karena suamiku tercinta ogah kalau aku membagi perhatian dengan buku-buku puisi, novel dan sejenisnya.
Bukan ngambek pada buku Pak Soni saja yang aku koleksi hampir mencapai sepuluh buku. Buku-buku penulis lain pun demikian.
Setidaknya semoga ulasan ini ada manfaatnya untuk mengembangkan imajinasi bagi diriku dan juga pembaca.
Salam Hangat,
DOA
Bandung, 13 Desember 2018
Part 2
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI