Mohon tunggu...
temali asih
temali asih Mohon Tunggu... Guru -

berbagi dan mengasihi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Anak Kabut Part 1 (Soni Farid Maulana-Ulasan)

13 Desember 2018   18:36 Diperbarui: 17 Desember 2018   09:26 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walau bulan berkilauan menerangi kalbuku
Walau suara musik menggoyang pendengaran jiwaku
Walau senyummu membangkitkan gairahku;
Kesepian nyatanya begitu kekal mengepung hidupku
Tanpa ampun

1990

Singkat. Sayangnya, alih-alih mencari makna dari puisi yang diungkap oleh beliau, aku malah sibuk mengisi battery gawai dan segera googling arti kata Mabini. Sampai sepuluh menit berlalu, pencarian arti Mabini hanya ada seputar Apolinario Mabini seorang pengacara, revolusioner di Filipina yang menjadi perdana mentri pertama. Hidup tahun 1864-1903.

Sambil menerawang dan mencari-cari kembali apa kaitan antara Mabini dan kesepian Soni yang tanpa ampun. Bagiku hanya satu yang masuk akal dan bisa jadi salah besar atau bahkan tepat sekali. Hanya pengarangnya yang tahu persis apa dimaksud dengan Mabini.

Menurut pikiranku, penulis sedang berada di sebuah hotel di Filipina yang terletak di jalan Mabini. Mengapa nama jalan? Bukankah bisa  saja nama hotel? Adalah sebuah kelaziman bila seorang tokoh di satu negara mendapat jatah nama jalan protokol. 

Penulis Buku Anak Kabut saat itu tidak sendirian namun merasa kesepian. Di negeri asing yang cahaya rembulan begitu terang hingga menginspirasi kalbunya, musik mendayu-dayu yang penyanyinya seorang wanita yang bisa membangkitkan gairahnya. Tetap saja mereka adalah orang asing. 

Bila dibaca di awal halaman setelah daftar isi, ada tulisan untuk Heni Hendrayani (sang isteri) dan kedua anaknya (saya duga). Penulis sedang rindu berat pada kehangatan keluarga. 

Berkilauan kesenangan hidup yang ditawarkan di Mabini hanya sampai pada kesepian yang menyiksa. Luar biasa.

Tidak berhenti di Puisi Mabini, lanjut lagi membaca puisi berjudul DI NEGERI SALJU, _untuk Rendra tahun 1999. Sembilan tahun jaraknya dari Mabini. 

Puisi berisikan kisah perjalanannya ke negeri salju diantaranya Belanda dan Paris dan membandingkannya dengan keadaan di Indonesia. Hampir mirip makian karena dua tahun sebelumnya di negeri ini krisis hebat terjadi dan masih berlanjut saat penulis melancong ke luar negeri.
Ah, ternyata Anak Kabut yang hampir keseluruhan puisinya menceritakan kisah tentang kesuraman, kepedihan dan tangisan cukup menarik dan membuat aku kembali tertarik untuk membaca puisi.

Aku jarang melakukan kontak lagi dengan Penulis buku ini cukup lama, padahal biasanya kami cukup akrab di Messenger dan Facebook. Terus terang semua karena suamiku tercinta ogah kalau aku membagi perhatian dengan buku-buku puisi, novel dan sejenisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun