Nana termenung memandangi kartu nama ditanggannya. Karta Sawitra F.
Sudah sebulan ibu berpulang. Hatinya berbisik untuk pergi memenuhi amanat yang diembannya. Sesaat ia ragu bila harus meninggalkan anak didiknya di sekolah. Bagaimanapun ia cinta pada pekerjaan dan semua anak didiknya. Bila ia terpaksa meninggalkan mereka itu menyakiti perasaannya. Ia pasti merindukan mereka. Dan Nana tahu mereka juga merasakan hal sama.
Nana mendekati sebuah rumah megah dengan pekarangan sangat luas berpagar tinggi, bernomor 2. Ia yakin ini alamat sahabat karib ayahnya. Ia sekarang yang bertanya-tanya, apa yang dijanjikan ayahnya pada sahabatnya itu?
Ir. Karta Sawitra telah berusia 75 tahun, namun badannya masih tegap wajahnya pun nampak berseri-seri saat menyambutnya.Â
"Kau Nana Suryana Fajar?" Pak Karta bukan hanya menyalaminya namun memeluk erat dirinya dengan penuh kasih sayang. Nana mengangguk perlahan. Ia heran Pak Karta bisa mengetahui namanya dengan baik.Â
"Ceritanya panjang, butuh waktu yang lama agar bisa terang-benderang." Lanjut Karta. Perasaannya berbaur antara sakit menahan kerinduan dan rasa bahagia bertemu orang yang berada dihadapannya kini. Sambutan hangat ini diluar dugaan Nana.
"Kau adalah anak lelakiku yang kutitipkan pada Rahmat Rochimat, untuk dia besarkan. Waktu itu aku terpuruk terkena fitnah dan Rahmat yang menolongku untuk membesarkanmu. Ternyata Rahmat baru bisa mengembalikanmu sekarang. Kau mirip sekali ibumu!"
"Mari kita temui ibumu, ia sudah menunggumu sejak lama. Hubungan kami terputus sejak Rahmat pindah rumah. Kami tak tahu alamatnya. Bertahun lamanya aku mencarimu, Nak!" Mata Karta berkaca-kaca.
Nana tersenyum geli, bisa juga ia membayangkan sebuah skenario untuk cerpen yang akan ia buat untuk lomba literasi di sekolah.
Ia ingin melanjutkan dengan kisah bahwa Ir. Karta Sawitra, ayahnya, memberikan bantuan sebagai donatur tetap untuk menggaji guru-guru honorer di sekolahnya yang berjumlah lima orang guru termasuk dirinya.Â
Nana sadar kisah seperti itu hanya ada dalam sinetron dan buku novel, kembali ia tersenyum kecut.