Mohon tunggu...
temali asih
temali asih Mohon Tunggu... Guru -

berbagi dan mengasihi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit pun Bertabik, Pak Guru!

24 November 2018   16:57 Diperbarui: 25 November 2018   13:43 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hanya karena ayah punya tato dan dulu pernah jadi tukang parkir di toko swalayan di kota, Deden anggap ayah saya seorang preman. Padahal ayah sudah lama bertaubat sejak kaki kirinya patah tertabrak mobil." Isakan Wira terdengar makin kencang.

Semua murid terdiam. Termasuk Deden. Air muka Deden berubah. Perasaan iba menjalari hatinya. Ia salah sangka, Wira ternyata begitu menderita dengan perkataannya. Perlahan Deden mendekat ke arah Wira. Ia menggenggam tangan temannya bermaksud meminta ma'af. Air mata menetes dipipinya.

"Sa... Saya... Bersalah. Penggaris itu pemberian kakak, sebelum meninggal, kakak memintaku untuk rajin belajar dan satu-satunya benda yang tersisa untuk diberikan kepada saya, penggaris itu. Itu kenang-kenangan yang menghubungkan saya dengan kakak. Setiap saya memegang penggarisnya, saya selau mendo'akan beliau." Suara Deden terbata-bata menceritakan rasa kehilangannya.

Pak Guru Nana menghela nafas panjang sembari meredakan perasaannya yang terbawa haru. Ternyata anak-anak ini menanggung derita yang berat tapi mereka sanggup menjalaninya dengan tabah.

Bagi Nana setiap hari, sekolahnya penuh warna. Warna kehidupan bagai pelangi, meskipun banyak warna gelap namun menyimpan berjuta harapan indah. Ia berharap kisah sedih yang dialami hari ini kelak berbuah persahabatan dan kasih sayang yang indah.

***
Rumah panggung beralaskan bambu tempat Nana dibesarkan terasa lengang. Biasanya kakak perempuan tertua dan adik lelakinya, rajin berkunjung ke rumah ini. Mereka berempat bersaudara. Nana anak ketiga. Kini tinggal dirinya yang belum menikah. Yang lain bahkan ada yang sudah memberi dua atau tiga cucu untuk Ibunya. 

Yuyun Kurnaesih, ibunya, berusia hampir tujuh puluh tahun. Tapi tidak ada yang bersedia untuk tinggal di sini bersama ibu. Ibupun demikian, tak mau tinggal bersama kakak-kakaknya, ia hanya mau berkunjung dua sampai tiga hari setelah dijemput dan meminta pulang ke rumah ini lagi. Alasannya ia senang tinggal di desa yang jauh dari bisingnya kota. Lagi pula makam ayah ada disamping rumah. 

Rutinitas ibu berdo'a di makam ayah, setiap hari tidak kurang dari satu jam. Membersihkan makam ayah, seminggu sekali. Hanya saja semenjak sakit-sakitan, tugas membersihkan makam beralih ke tangan Nana.

"Na! Kemarilah! Ibu mau bicara." Ibu memanggil Nana dengan suara lirih.

"Ya bu, ada apa?" Sahut Nana takzim, ia mendekat perlahan ke pembaringan. Disentuhnya tangan ibu dengan penuh kasih sayang. Didekapnya tangan ibunya dipipi. Kulit ibunya semakin keriput, wajah ibunya berpeluh, menahan sakit. 

"Ibu rasa, ibu akan segera menyusul ayah." Suara ibunya parau. Terbatuk-batuk dan keringatnya mengucur semakin deras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun