Sebagian besar konglomerat yang ada di Indonesia adalah para 'taipan' yang berasal dari suku Tionghoa. Para taipan ini membangun bisnis yang menggurita dengan berbagai macam jenis usaha dan mempekerjakan puluhan bahkan ratusan ribu tenaga kerja dalam satu bidang usahanya,sehingga Republik ini mempunyai kepentingan yang kuat sekali terhadap kerajaan bisnis yang dibangun oleh para konglomerat Tionghoa Indonesia ini.
Namun bila dipelajari secara seksama kerajaan bisnis yang dibangun oleh para konglomerat Tionghoa Indonesia,maka model pengaturan manajemen bisnis mereka hampir meniru sistem feodalistik yang pernah ada dalam kerajaan-kerajaan Tiongkok kuno. Figur sentral dari kerajaan bisnis yang dibangun tentu saja adalah "owner" atau sang pemilik perusahaan. Kalaupun perusahaan-perusahaan yang berada dibawah kerajaan bisnis konglomerat Tionghoa Indonesia itu sudah 'go public',tetap saja pemegang saham mayoritasnya adalah 'sang pemilik' kerajaan bisnis itu sendiri,publik sangat minim memiliki jumlah saham yang beredar di bursa.
Pengaturan strategi manajemen yang bergaya feodalistik kerajaan-kerajaan Tiongkok kuno dapat dilihat di film-film cerita silat ataupun buku-buku terkenal yang sudah dibaca oleh jutaan orang di dunia,seperti cerita Sam Kok atau "Kisah Tiga Negara" yang sangat terkenal itu. Bilamana mereka menggunakan sistem manajemen Barat atau "Western Style" ,itu hanya sebagian kecil saja diterapkan dalam pengaturan manajemen secara keseluruhan. Manajemen Barat hanya dipakai untuk terlihat profesional dan modern,selebihnya adalah gaya manajemen Kerajaan-kerajaan Tiongkok kuno.
Sang pemilik tentu saja bertindak 'seperti' seorang Kaisar. Setiap ucapan,tindakan dan sikap sang pemilik kerajaan bisnis Tionghoa Indonesia adalah seperti "sabda kaisar" yang tidak bisa dibantah dan harus dilaksanakan,bahkan oleh anak-anaknya yang kelak akan menjadi pewaris kerajaan bisnisnya. Keterlibatan sang pemilik dalam pengambilan keputusan yang menentukan strategi kerajaan bisnis kedepan sangat mutlak,bahkan pengangkatan para komisaris,direksi perusahaan masih ditentukan oleh sang pemilik kerajaan bisnis. Tentu saja semuanya itu dibantu oleh "orang-orang kepercayaan" yang berfungsi sesuai dengan tugas dan jabatannya.
Sebagaimana halnya kerajaan-kerajaan Tiongkok kuno, seorang Kaisar membangun "lingkaran dalam" Â orang-orang kepercayaan yang ditugaskan untuk menjalankan roda pemerintahan. Ada seorang Perdana Menteri,Menteri Utama,Putra Mahkota atau Pangeran-pangeran,ibu suri dan para Menteri & bahkan "panglima perang" utama yang ditugaskan secara khusus memperluas kerajaan. Untuk mempertahankan kekuasaan sang Kaisar,maka dibangun intrik politik yang berujung kepada penyampaian informasi apa saja ke telinga sang Kaisar. Oleh karena itu,tak heran ada yang disebut orangnya Perdana Menteri,orangnya Menteri Utama,orangnya ibu Suri,orangnya Pangeran si A,si B,si C dan selanjutnya.
Di dalam intrik politik kerajaan Tiongkok Kuno juga dikenal dengan yang namanya "persaingan" antara masing-masing orang kepercayaan Kaisar. Â Mereka inilah yang memberikan informasi-informasi dan berusaha "menjilat" kepada sang Kaisar untuk mempertahankan kedudukan dan posisinya. Saling jegal-menjegal dan bahkan kalau perlu 'membunuh' pun akan dilakukan demi dekat dengan sang Kaisar. Konspirasi dan kolaborasi satu sama lain antar orang-orang kepercayaan sang Kaisar juga terjadi demi menyingkirkan pesaingnya. Cerita intrik dan penyingkiran serta pembunuhan selalu mewarnai kerajaan-kerajaan Tiongkok Kuno. Faktor tidak percaya dan ketakutan sang Kaisar digulingkan atau dibunuh selalu ada di benak "sang Raja Langit" maupun para 'penjilat' Istana. Tak kalah penting,biasanya sang Kaisar juga punya 'ahli nujum' untuk meramal dan memberi nasehat spiritual kepada sang Kaisar perihal "fengshui" siapa saja yang bisa menjadi orang-orang kepercayaannya maupun setiap tindakan yang akan dikerjakan oleh sang Kaisar.
Seorang Kaisar yang piawai akan mengatur manajemen konflik di lingkungan Istananya agar semuanya berjalan dengan baik,dan biasanya Kaisar yang demikian akan lebih langgeng berkuasanya daripada seorang Kaisar yang hanya mau mendengar yang "hepi-hepi" saja dari para Menteri dan punggawanya.
Gambaran sang pemilik Kerajaan bisnis orang Tionghoa Indonesia tak lebih dan tak kurang mirip dengan cerita diatas. Jadi "like & dislike" masih sangat tinggi ,pimpinan perusahaan akan mengedepankan "kamu orang siapa?" dan bukan "kamu sudah berbuat apa?" ; Moralitas jarang dikedepankan sebagai "reward" kenaikan jabatan karena intrik politik yang begitu ruwet,yang ada hanya hukuman bagi"pencuri" uang perusahaan,yaitu mereka pasti akan di keluarkan dari perusahaan. Maka tak heran di dalam lingkungan perusahaan-perusahaan yang ada di kerajaan bisnis orang Tionghoa Indonesia,orang yang sangat dekat atau dekat dengan salah satu dari para Komisaris,Direksi dan bahkan "putra mahkota" akan sangat cepat melejit memperoleh jabatan atau posisi strategis. Mereka itu kebanyakan naik jabatan bukan karena prestasi tetapi karena "bisikan" dari orang-orang yang dekat dengan "Sang Kaisar" Pemilik Kerajaan bisnis tersebut.
Muka manis dan sandiwara dengan berpura-pura baik didepan "sang Kaisar" ataupun "para Menteri" serta "putra mahkota" adalah sebuah keniscayaan dan pemandangan yang rutin terlihat di lingkungan perusahaan; Tetapi bila dengan bawahannya mereka akan berlaku kejam dan tidak bersahabat. Sebagai "rakyat" tentu saja para karyawan yang menjadi "bawahan" si Penindas,Penjlat,Perusak Moral tidak berani bersuara,mereka merasa ketakutan tidak dapat mengais rejeki lagi untuk mempertahankan hidupnya.
Sistem "assesment" yang meniru Manajemen Barat hanya menjadi "lips service" supaya terlihat profesional dan obyektif serta modern ; Yang maju ke "assesment" atau mendapatkan kesempatan untuk ikut regenerasi kepemimpinan juga orang-orang yang dimajukan karena kedekatan,bukan profesionalitas atau moralitasnya dan prestasinya. Cerita sejarah intrik politik selalu berulang,hanya waktu,pelaku dan tempatnya saja yang berbeda.....!
Seperti halnya kerajaan Tiongkok kuno,maka keterlibatan para ahli "fengshui" juga masih dijumpai di Kerajaan bisnis orang Tionghoa,oleh karena itu tak heran ada orang-orang yang bekerja di perusahaan-perusahaan dalam kerajaan bisnis orang-orang Tionghoa Indonesia mencoba peruntungan dengan melengkapi dirinya pergi ke dukun atau minta kekuatan spiritual dari "orang pintar" ; Entah manjur atau tidak kata si ahli "fengshui" atau si dukun/orang pintar yang digunakan,tetap saja "bisikan" kepada "sang kaisar" pemilik Kerajaan Bisnis yang paling menentukan.
Kenapa "Sang Kaisar" pemilik kerajaan bisnis orang Tionghoa banyak meniru (sadar/tidak sadar) manajemen bergaya Kerajaan-kerajaan Tiongkok Kuno?
Yang pertama tentu saja karena para Konglomerat orang Tionghoa Indonesia tersebut berlatar belakang suku Tionghoa yang usianya sekarang masih mengalami "sejarah" Kerajaan-kerajaan Tiongkok kuno dari cerita dan didikan orang tuanya maupun buku-buku,cerita film yang diwariskan melalui kultur budaya yang dibangun dari keluarganya.Â
Yang kedua adalah faktor "trusted" yang tidak mudah dijumpai pada orang-orang Tionghoa dalam membangun bisnisnya. Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang mudah curiga dan tidak percaya kepada orang lain,namun sebaliknya bila sudah memperoleh kepercayaan yang begitu besar daripadanya,maka jangan sekali-sekali mengkhianati kepercayaan tersebut ; Karena "kekuasaan" yang diperoleh dari kepercayaan itu begitu sangat besar sekali. Dampak buruk dari kepercayaan yang begitu besar adalah timbulnya para "taikam" yang suka menjilat dan memberi informasi yang baik-baik saja untuk menyenangkan hati sang "boss".
Faktor ketiga tentu saja faktor cita-cita atau impian,siapapun yang mempunyai keinginan untuk menjadi "boss" umumnya secara alamiah ingin berkuasa seperti raja/kaisar,dihormati dan mempunyai kekuasaan untuk bisa bertindak apa saja sesuai keinginannya. Setelah menjadi "Raja" tentu saja yang mudah ditiru adalah yang mereka pelajari,lihat dalam keseharian dan wawasan yang dimiliki sepanjang hidupnya.
Berbeda dengan orang-orang Eropa/Amerika yang menjadi konglomerat di negaranya,mereka lebih murni menyerahkan urusan strategi manajemennya kepada para profesional yang ada,bahkan "sang pemilik" pun bisa dipecat (kasus Steve jobs-Apple) ; Hal ini karena mereka dibesarkan di era Manajemen Modern berorientasi kepada "result" serta mereka melihat sistem monarki yang ada di negara-negara Eropa juga sebatas simbol dan bukan yang menjalankan pemerintahan secara fisik,sehingga tidak ada nilai histori kultural yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka dalam menjalankan roda kerajaan bisnisnya.
Satu hal penting dalam kerajaan bisnis orang-orang Tionghoa di Indonesia adalah keraguan kesinambungan dari banyak kalangan bilamana "sang Kaisar" sudah tidak ada lagi atau meninggal dunia. Dengan banyaknya "putra mahkota" atau "putra mahkota" yang tidak siap memikul tanggung jawab sekaliber "the founder" ,sulit sistem manajemen "monarki" yang penuh intrik akan membuat generasi penerus sehebat "sang Kaisar" . Pada kenyataannya dan yang lebih riskan adalah bilamana di  lingkaran "putra mahkota" merupakan para penjilat dan bermoral rendah dalam kepemimpinannya sekarang. Kehidupan dan rekam jejak kehidupan pribadi yang tidak tercatat dengan baik serta mempunyai masalah-masalah kehidupan pribadi yang tidak diketahui dari para staff bisa menjadi "blunder" bagi "putra mahkota" atau penerus "sang Kaisar"; Apalagi kerajaan bisnis yang dibangun awalnya dilandasi oleh semangat dedikatif bukan profesional semata.
Sebuah kerajaan bisnis (tidak perlu disebut) di Indonesia pernah hampir mengeluarkan orang-orang "yang dianggap tua & uzur" ketika  salah satu dari sang "putra mahkota" datang dari Amerika Serikat ;Namun hal ini bisa dicegah oleh orang-tuanya dengan kebijakan yang terus memperpanjang masa pensiun para staff yang mempunyai dedikasi tinggi dan selama ini terbukti telah ikut serta membesarkan perusahaannya. Penghargaan kepada "kaum tua" sulit dijumpai dari para "putra mahkota" kerajaan bisnis orang Tionghoa di Indonesia,padahal sistem manajemen "sang Kaisar" selama ini lebih mengedepankan semangat dedikasi pengabdian serta loyalitas. Profesionalitas hanya dibentuk agar terlihat modern saja.
Saran yang terbaik supaya kerajaan bisnis orang-orang Tionghoa di Indonesia bisa berjalan dengan langgeng adalah jangan pernah ragu untuk menyingkirkan para "taikam" yang mempunyai jiwa penjilat dan bermuka manis serta bermoral rendah. Ini perlu dilakukan sebelum alih generasi kepemimpinan berlangsung ; Tujuannya untuk memudahkan sang "putra mahkota" meneruskan kerajaan bisnisnya hingga ke keturunan berikutnya. Salah memilih orang yang tepat akan membuat kerajaan bisnis itu berakhir seperti halnya kerajaan-kerajaan Tiongkok kuno yang hilang-tumbuh berganti seiring dengan pertikaian di internal istana dan para "taikam" yang menusuk dengan perbuatan-perbuatan moral mereka yang rendah dan menjijikkan rakyat. Penurunan spirit dan moral kerja sangat berbahaya dalam mengelola sebuah konglomerasi.
Memilih "panglima perang" yang dipercaya untuk mengawal alih generasi memang tidak mudah,tetapi memilih seorang yang berjiwa "nabi" untuk menjadi panglima perang tidak akan sulit,sebab "nabi" tidak banyak dan mungkin hanya satu saja sehingga mudah terlihat. Ciri-ciri "nabi" pun mudah terlihat,sebab suaranya "nyaring" dan tidak pernah kompromi seperti seorang penjilat pada umumnya. Maka tak heran,cerita-cerita kerajaan Tiongkok kuno selalu diceritakan pada menjelang akhir sang Kaisar turun tahta,yang dicari adalah seorang yang bijak atau  "the wiseman" ; Orang bijak diperlukan untuk mengawal kelanjutan kerajaan dan alih generasi.Â
Seorang "kaisar" pemilik konglomerasi kerajaan bisnis dari kalangan Tionghoa Indonesia mustinya paham akan hal ini.
Â
Jakarta,4 Juni 2015
Untuk para konglomerat Tionghoa Indonesia
Telo Mania
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H