Empat kali sehari, tenaga cleaning service di kantor mengambil sampah. Tempat sampah yang tersedia hampir di setiap sudut ruangan penuh. Dengan kantong plastik besar, yang kadang-kadang transparan, bisa dilihat komposisi sampahnya. Dominan adalah sampah makanan. Makanan yang tidak dihabiskan. Disisakan dan dibuang.
Menurut riset Bappenas, selama periode 2000-2019, Indonesia berkontribusi sekitar 23 hingga 48 juta ton makanan yang terbuang setiap tahun. Angka ini mencakup food loss, pangan yang terbuang pada tahap produksi, pascapanen/penyimpanan, dan pemrosesan/pengemasan, serta food waste, pangan yang terbuang pada tahap distribusi/pemasaran dan sisa konsumsi.Â
Jika dihitung secara ekonomi, nilai seluruh makanan yang terbuang di Indonesia berkisar antara Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4% hingga 5% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia per tahun.
Di tataran global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa lebih dari 1 miliar metrik ton makanan terbuang setiap harinya. Sayangnya, pada saat yang sama, hampir 800 juta orang mengalami kelaparan. Dalam laporan PBB, diperkirakan dunia telah menyia-nyiakan 1,05 miliar metrik ton makanan pada tahun 2022.
Ini bukan kejahatan tapi agak bodoh. Sudah seharusnya kita merasa tidak enak saat membuang hal yang seharusnya tak menjadi sampah. Perasaan yang mendarah daging. Hingga muncul ungkapan "waste not, want not" yang dapat ditelusuri hingga tahun 1700-an asal muasalnya.
Namun, tetap saja kita boros. Akibatnya muncul fakta mengejutkan. Tidak hanya air. Dari semua mineral, bahan bakar fosil, bahan makanan, dan bahan mentah lain yang kita ambil dari bumi dan diubah menjadi produk, sekitar dua pertiga menjadi limbah. Dan biasanya, itu menjadi bagian dari masalah lingkungan yang lebih besar.
Sampah plastik hanyut ke sungai dan lautan, ada 2 juta ton, 171 triliun keping plastik dan Indonesia menyumbang hampir 300 ribu ton. Begitu juga nitrat dan fosfat dari ladang yang kita pupuk mengalir ke sungai dan lautan. Sepertiga dari makanan membusuk, sementara Amazon, Sumatera, Kalimantan digunduli untuk menghasilkan lebih banyak.Â
Dan masalah terbesar dari limbah? Perubahan iklim terjadi ketika kita membakar bahan bakar fosil dan menyebarkan limbahnya, yaitu karbon dioksida ke atmosfir. Bayangkan, tahun 2022 saja sudah 36,4 miliar ton emisi karbon dioksida dihasilkan dunia dan Indonesia menyumbang 678 juta ton emisi karbon dioksida.
Limbah yang terbuang percuma dan merusak. Bagaimana jika kita bisa menangkap kembali limbah, menjadikannya berguna? Konsep ini disebut ekonomi sirkuler. Tidak sepenuhnya baru. Sudah ada sejak 1970-an. Sudah sekian generasi. Pendekatan yang berbeda dari ekonomi linear, yang mengikuti pola ambil, produksi, buang.
Ekonomi sirluler meng-kopi etos pecinta lingkungan yang menganjurkan pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang. Contoh nyata, sweater wol lama ditenun kembali menjadi pakaian baru. Selama puluhan tahun, tembaga diambil dari lonceng dan patung gereja, kini bisa menjadi ponsel dan televisi.Â
Sewa pakaian dan tas. Penggunaan wadah isi ulang untuk sampo, sabun, minuman. Dropbox sampah botol plastik, sampah barang elektronik. Panel surya untuk Stadion Internasional Jakarta (JIS). Mobil listrik pengganti bahan bakar fosil. Lampu LED. Dan tentu saja penggunaan aspal berbahan plastik.