Mohon tunggu...
Politik

Antasari Azhar, Saya dan Kekuasaan

9 November 2016   12:57 Diperbarui: 9 November 2016   13:18 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

" Kriminalisasi ialah sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan yang dilakukan atas pesanan dan perintah pihak lain dengan menggunakan instrumen hukum"

Itulah kurang lebih definisi dari praktik politik berselimut hukum bertajuk kriminalisasi. 

Besok kabarnya Antasari Azhar akan bebas. Setelah menjalani hukuman beberapa tahun, akhirnya ia mendapatkan grasi dari Presiden Jokowi. Perjalanan panjang Antasari memperjuangkan keadilan akhirnya justru bertemu ujungnya setelah berganti penguasa. Banyak orang bilang ia dikriminalisasi. Ada skenario kasus yang memang dipersiapkan jauh hari untuknya, dan targetnya Antasari 'harus' dipenjara. Apapun caranya.

Sama dengan Antasari, saya juga merasakan adanya skenario busuk yang membuat saya dipenjara. Bedanya, saya lebih beruntung karena saya tidak selama Antasari mendekam. 

Dalam istilah saya, mungkin pelaku kriminalisasi terhadap saya kurang ahli, jorok dan terburu-buru. Skenario dibuat tidak rapih dan akhirnya tidak mampu membuat saya divonis lebih lama. Untuk itu, saya bersyukur karena kebodohan mereka yang telah merekayasa. 

Tetapi, justru berbeda dengan Antasari yang menyimpan api dendam terhadap rejim yang dahulu memenjarakannya, dan katanya terdengar akan membongkar beberapa rahasia tentang polah penguasa yang memenjarakannya, sekeluarnya saya dari penjara saya justru tetap memilih memutuskan berada barisan yang sama dengan Jokowi, pemilik kuasa tertinggi dari rejim yang memenjarakan saya. 

Orang bertanya-tanya. Bahkan ketika dalam penjara, sesama tahanan bingung karena mereka melihat dan mendengar saya masih bersetia pada kekuasaan yang telah mendzalimi saya. 

Diruang tahanan polisi dan rumah tahanan saya kerap menulis kalimat "Dipenjara oleh Rejim yang Dibela". 

Dan dingin serta memenakutkannya ruang penjara akhirnya memang tidak mampu menyurutkan tekad saya memilih keberpihakan politik saya.

Sampai dengan saat bebas setelah menjalani tujuh bulan penjara, sesungguhnya tidak seorangpun tahu apa yang terjadi sebenarnya. Yang tahu hanya saya dan si pemberi perintah rekayasa kasus terhadap saya. 

Dalam pengadilan, tidak pernah bisa dibuktikan semua tuduhan terhadap saya. Tapi pemberitaan media yang masif digerakan sudah terlanjur menghukum saya. 

Saya tetap tegak, karena ada rahasia yang harus saya jaga untuk tidak dibuka. Dan saya paham, jaksa dan hakim dipengadilan harus 'menjalankan tugas pesanan' dari si perekayasa. Walaupun, saya sempat ancam juga untuk menempuh pengadilan banding jika hakim menjatuhkan vonis lebih dari setahun kepada saya. Dan entah mereka takut saya banding atau karena hal lain, mereka memang memvonis saya tanggal 20 April 2015 hanya setahun lamanya, saat itu saya telah menjalani lima bulan masa tahanan. 

Saya memang memutuskan untuk tidak menempuh pengadilan banding setelah berembuk dengan keluarga, penasehat hukum dan kawan-kawan aktifis yang selama saya ditahan mendukung saya. Alasannya sederhana, jika banding saya masih harus menjalankan setidaknya tiga atau empat bulan lagi hidup dalam penjara. Dengan sistem peradilan yang kotor dan penuh rekayasa, memperoleh keadilan dari pengadilan banding juga belum tentu saya dapatkan. Itu tandanya saya harus menjalani sembilan bulan penjara, saya akan kehilangan kesempatan memperoleh hak mengurus potongan masa tahanan. Akhirnya, diputuskan untuk menerima hasil vonis dengan agenda segera bisa keluar dari penjara. Dan dua bulan setelah putusan pengadilan itu, saya memperoleh kebebasan saya. 

Keluarga dan kawan-kawan membutuhkan saya, itu berarti kepulangan saya lebih cepat adalah keputusan yang saya perhitungkan dengan amat matang.

Sekeluarnya dari penjara, berbeda dengan Antasari yang katanya akan membongkar rahasia, saya justru memutuskan langsung melakukan aktifitas politik, yang tentunya tetap berada dalam barisan yang sama dengan kekuasaan yang beberapa oknumnya justru memenjarakan saya dengan rekayasa. 

Seorang kawan, menyindir karena melihat sikap politik saya dengan mengatakan bahwa jangan-jangan dipenjara itu memang skenario yang saya setujui untuk direkayasa demi melakukan tugas rahasia, saya tidak bisa menanggapinya. Biarlah itu jadi misteri saya.

Yang sempat menggelikan adalah adanya sikap kawan-kawan aktifis yang mencibir dan bahkan berniat mengisolasi saya dari pergaulan politik. Mereka yang tiba-tiba menjauh karena status saya sekeluar penjara. Mereka yang bahkan tidak paham apa yang terjadi tapi lalu mau ikut menghukum saya. 

Aneh tapi itulah fakta kedewasaan aktifis saat ini, yang karena gemar memilih jalan aman demi mimpi kenyamanan lalu mengorbankan perkawanan. Mungkin malu, mungkin takut. Biarlah itu jadi hak mereka.

Saya terus bergerak, sikap saya ajeg untuk tetap bersama mengawal kekuasaan ini, sekalipun saya telah menjalani masa sulit dalam penjara. 

Sengaja saya segera muncul dalam pergaulan politik kembali, untuk memberi signal dan tanda kepada siapapun bahwa langkah ini tidak mungkin ditempuh seseorang yang seperti apa yang dituduhkan pada saya. Paling tidak, orang itu harus tiarap setahun lamanya, sebelum muncul kembali. Saya tidak. 

Kepada kawan-kawan yang berada dalam penjara saya sampaikan bahwa saya tidak akan mengambil posisi politik yang berlawanan dengan kekuasaan, itu sudah menjadi keputusan. 

Sekalipun saya beberapa kali didekati orang-orang yang anti pemerintah untuk ikut melawan, saya tidak bergeser se-incipun dari keputusan. 

Tapi janji saya untuk membongkar kejahatan oknum penegak hukum seperti yang saya rasakan dan lihat sendiri selama saya di penjara, itu akan tetap saya lakukan. 

Saya harus terus berjuang agar tidak ada lagi tahanan yang dianiaya polisi, di bon tengah malam dari ruang tahanan, lalu dikembalikan setelah tiga hari dengan kondisi babak belur dan mengenaskan. Saya akan terus berteriak agar oknum polisi dan jaksa berhenti memeras tahanan. Saya akan terus memperjuangkan kawan-kawan sesama tahanan, agar memperoleh pengadilan yang memiliki semangat menegakkan kebenaran dan keadilan, bukan justru hanya ingin menghukum orang.

Saya telah memutuskan sikap politik ini. Karena bagi saya politik adalah keberpihakan maka sekalipun telah dipenjara saya tetap menyatakan keberpihakan saya pada pemangku kuasa saat ini. Bukan keberpihakan buta, tapi keberpihakan yang dibekali oleh ide, gagasan dan tindakan nyata. Saya tidak mengemis untuk itu. Karena saya menyadari bahwa kemerdekaan dan kebebasan saya yang sempat terampas tidak serta merta membuat ide dan gagasan saya ikut terampas. Untuk itu saya berbahagia.

Soal dikriminalisasi, sebulan sebelum saya ditangkap, dalam kunjungan saya kerumah seorang tokoh yang sudah saya anggap orang tua saya sendiri, almarhum bapak Roch Basuki Mangoenpoerojo, beliau mengingatkan saya bahwa ketika kita dianggap mengacaukan sebuah arus politik kekuasaan maka bersiaplah kita akan 'dikerjai'. Untuk menangkap, maka disiapkan pasal-pasal lucu. Bisa penggunaan narkoba, perjudian, penipuan, penggelapan, penganiayaan dan bahkan pencabulan. Itu semua bagi aparat jahat bukan perkara susah mengkondisikannya. Itulah kenapa saya sangat siap ketika saya akhirnya dipenjara dengan tuduhan-tuduhan lucu. 

Antasari sebentar lagi akan bebas. Mungkin ia akan membongkar kriminalisasi terhadap dirinya. Saya memilih jalan berbeda. Menentang tindak kriminalisasi oknum penguasa tanpa harus menentang kekuasaannya. Soal "operasi" terhadap saya biarlah jadi rahasia selamanya. Saya memegang teguh 'hukum tutup mulut', omerta dalam istilah bahasa Italia. 

Bagi saya, memilih politik berarti berada dalam ruang yang begitu tipis jaraknya dengan resiko, penjara salahsatunya. Jika Orde Baru menculik maka saat ini kriminalisasi jadi modus terbaru untuk menghentikan langkah politik. Dan saya menyadari bahwa kadang kekuasaan memang berwajah ganda.

Adik-adik HMI ditangkap beberapa hari lalu. Banyak kawan bilang mereka dikriminalisasi. Saya berujar, mudah-mudahan tidak. Dan semoga saya jadi orang terakhir yang dikriminalisasi dengan cara dikirim ke penjara. 

"Multi famam, conscientiam pauci verentu" – Banyak orang takut nama baik (reputasi), hanya segelintir orang yang takut suara hatinya. (Pliny)

 

Ditulis oleh : Irwan Suhanto

Aktifis dan pencinta Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun