Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... purnakarya - pembelajar

Guru dan pembelajar. purnabakti yang masih berbakti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meningkatkan Kualitas Kepribadian Lewat Budaya Malu

24 Juli 2023   08:48 Diperbarui: 24 Juli 2023   08:58 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bagian I, puisi lirik-naratif ini diawali dengan cerita si aku penyair, yang bangga menjadi anak Indonesia karena mendapatkan beasiswa ke luar negeri, ke Universitas Wisconsin, Amerika. Penyair menceritakan Indonesia yang dapat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Ia memiliki sahabat sekelas, Thomas Stone, yang berasal dari Whitefish Bay yang mengagumi revolusi Indonesia. Sahabatnya mengarang tentang pertempuran Surabaya dengan tokoh Bung Tomo, dan sang penyair dengan  dada membusung bangga menjadi narasumbernya. (Catatan: MAJOI disebut lirik karena mengungkapkan gagasan pribadi penyair terhadap kondisi dan situasi bangsanya; dan disebut naratif karena puisi ini cenderung menceritakan kehidupan manusia dengan berbagai macam sifatnya. -- Nidia Rahma).

Pada bagian II, kebanggaan penyair ambyar berantakan. Dengan getir penyair  memaparkan kekecewaannya pada kondisi negerinya yang bobrok pada masa orde baru dan memasuki orde reformasi. Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak.  Hukum tak tegak, doyong berderak-derak. Penyair merasa malu menjadi orang Indonesia, sehingga setiap kali dia berjalan di jalanan umum, penyair berusaha berlindung  di balik kacamata hitam dan membenamkan topi baret  di kepala. Malu ia menjadi orang Indonesia.

Bagian III puisi itu mengungkapkan keroposnya mental pejabat dan aparat yang korup, rakyat yang pemalas, rakyat yang miskin dan  dimiskinkan, pendidikan yang amburadul,  yang justru memanjakan anak membuat anak tidak mandiri, banyak  kekayaan alam yang dikeruk habis-habisan untuk kepentingan pribadi, dan lain sebagainya. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah menjadi kiblat utama untuk memerkaya diri sendiri. Rakyat yang mempertanyakan dibungkam dengan sepatu lars kemudian dipenjarakan. Hukum pun memihak yang membayar. Ambruknya nilai-nilai moral, budi pekerti mulia hanya ada di kitab-kitab agama, dan dalam kehidupan sehari-hari terasa hilang di celah-celah tumpukan jerami, yang sangat sulit dicari.

Bagian IV puisi itu mengulang dan menegaskan kembali bagian II, tentang rasa malu menjadi orang Indonesia. Kepedihan yang mendalam yang seharusnya menjadi bangsa yang terhormat yang mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, tetapi justru jauh dari harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun