Mohon tunggu...
Teha Sugiyo
Teha Sugiyo Mohon Tunggu... purnakarya - pembelajar

Guru dan pembelajar. purnabakti yang masih berbakti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meningkatkan Kualitas Kepribadian Lewat Budaya Malu

24 Juli 2023   08:48 Diperbarui: 24 Juli 2023   08:58 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Kompas Images (Kristianto Purnomo)

Belajar dari Puisi MALU AKU JADI ORANG INDONESIA Karya Taufik Ismail

Bagian Pertama dari Empat Tulisan

Pada awal jadinya ada sebuah gagasan. Gagasan itu kemudian diwujudkan dalam kata. Kata memgandung makna. Makna bisa beraneka. Tergantung penerima. Tergantung wacana. Semakin beragam wacana yang dimiliki seseorang, semakin kaya pengalaman yang memberinya nuansa makna. Makna itu dapat dimanfaatkan bagi kehidupannya. Pengalaman akan kebermaknaan hidup dan kehidupan itu perlu dibagikan kepada sesama, sehingga dunia menjadi lebih indah, lebih berharga, lebih bahagia.

Setiap manusia dapat memberikan kontribusi untuk menciptakan dunia yang lebih bermakna, indah, bahagia, sejahtera laksana surga, dengan berbagi cinta, kasih sayang, pujian, persahabatan, persaudaraan, kebersamaan, kedamaian, kenyamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, juga pengorbanan.

Begitulah sastra, khususnya puisi. Seperti yang pernah dikatakan oleh John F. Kennedy "Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya" (Quotefancy). Dalam tafsir yang lebih luas, jika kehidupan itu tidak baik, sastra dapat memerbaikinya. Dalam sastra ada puisi, dan puisi dapat ikut berperan serta untuk memercantik dan memerindah dunia.

Puisi adalah wujud karya sastra yang memakai kata-kata indah dan penuh makna. Puisi dikatakan penuh makna, karena bahasa yang digunakan lebih padat dan berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Penggunaan bahasa pada puisi lebih padat tetapi memiliki makna yang kaya. Kata konotatif digunakan dalam puisi sehingga puisi mengandung banyak penafsiran. Hudson mengatakan bahwa puisi merupakan salah satu bentuk sastra yang disampaikan dengan kata-kata hingga menghasilkan imajinasi dan ilusi (Aminuddin, 2015: 134).  

Setiap orang memiliki kebebasan dalam mencurahkan ide dan perasaannya melalui puisi. Pradopo (1995) mengatakan bahwa puisi berasal dari pemikiran seseorang yang dapat merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama sehingga dapat membangkitkan perasaan pembaca. Karya sastra puisi merupakan bunyi  bahasa (rima, irama, intonasi), bentuk baris (larik ) dan bait serta ditandai oleh penggunaan bahasa yang padat.

Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa puisi merupakan sebuah karya sastra yang berisi tentang suatu perasaan atau pikiran penyair dengan menggunakan pilihan kata yang membentuk irama dan rima dari kata yang digunakan tersebut menghasilkan imajinasi secara konkret dan mengandung makna. Puisi itu salah satu cabang karya sastra dengan menggunakan kata-kata yang penuh makna baik makna denotatif maupun makna konotatif, sarana penumpahan curahan pengarang yang disertai dengan suasana, nada dan sejenisnya dan kata yang dipakai menggunakan majas atau gaya bahasa.

Sekarang, mari kita menelaah dan belajar pada puisi Taufiq Ismail  berikut ini.

Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia

I.

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini

II

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elyses dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak putus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,

Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elyses dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.

(Ismail, 2000: 19-22)

Gambaran Sekilas

Puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia  (MAJOI) terdiri dari empat bagian dan 91 baris. Puisi ini sarat makna dan nilai-nilai kehidupan. Dengan gaya ucap atau narasi yang sederhana, penyair berhasil memukau pendengar atau pembacanya. Sepertinya, penyair bercerita kepada sahabatnya, terasa sekali kelugasan dan keterbukaan yang membuat pendengarnya ikut merasakan perihnya kondisi dan situasi negeri yang dikisahkan. Dengan lugas pula, jika pembaca atau pendengarnya itu orang Indonesia, maka ia "dipaksa" untuk ikut malu sebagai orang Indonesia.

Pada bagian I, puisi lirik-naratif ini diawali dengan cerita si aku penyair, yang bangga menjadi anak Indonesia karena mendapatkan beasiswa ke luar negeri, ke Universitas Wisconsin, Amerika. Penyair menceritakan Indonesia yang dapat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Ia memiliki sahabat sekelas, Thomas Stone, yang berasal dari Whitefish Bay yang mengagumi revolusi Indonesia. Sahabatnya mengarang tentang pertempuran Surabaya dengan tokoh Bung Tomo, dan sang penyair dengan  dada membusung bangga menjadi narasumbernya. (Catatan: MAJOI disebut lirik karena mengungkapkan gagasan pribadi penyair terhadap kondisi dan situasi bangsanya; dan disebut naratif karena puisi ini cenderung menceritakan kehidupan manusia dengan berbagai macam sifatnya. -- Nidia Rahma).

Pada bagian II, kebanggaan penyair ambyar berantakan. Dengan getir penyair  memaparkan kekecewaannya pada kondisi negerinya yang bobrok pada masa orde baru dan memasuki orde reformasi. Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak.  Hukum tak tegak, doyong berderak-derak. Penyair merasa malu menjadi orang Indonesia, sehingga setiap kali dia berjalan di jalanan umum, penyair berusaha berlindung  di balik kacamata hitam dan membenamkan topi baret  di kepala. Malu ia menjadi orang Indonesia.

Bagian III puisi itu mengungkapkan keroposnya mental pejabat dan aparat yang korup, rakyat yang pemalas, rakyat yang miskin dan  dimiskinkan, pendidikan yang amburadul,  yang justru memanjakan anak membuat anak tidak mandiri, banyak  kekayaan alam yang dikeruk habis-habisan untuk kepentingan pribadi, dan lain sebagainya. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) telah menjadi kiblat utama untuk memerkaya diri sendiri. Rakyat yang mempertanyakan dibungkam dengan sepatu lars kemudian dipenjarakan. Hukum pun memihak yang membayar. Ambruknya nilai-nilai moral, budi pekerti mulia hanya ada di kitab-kitab agama, dan dalam kehidupan sehari-hari terasa hilang di celah-celah tumpukan jerami, yang sangat sulit dicari.

Bagian IV puisi itu mengulang dan menegaskan kembali bagian II, tentang rasa malu menjadi orang Indonesia. Kepedihan yang mendalam yang seharusnya menjadi bangsa yang terhormat yang mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, tetapi justru jauh dari harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun