Mohon tunggu...
Teguh Suandi
Teguh Suandi Mohon Tunggu... profesional -

Software Developer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sera (1)

18 Desember 2013   12:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:47 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://witastar7.blogspot.com

[caption id="" align="aligncenter" width="575" caption="Image: http://witastar7.blogspot.com"][/caption]

Kepalaku berdenyut tak karuan memikirkan apa yang baru saja terjadi dalam beberapa hari ini, sensasi seperti mau pingsan karena berlari-lari di tanjakan curam ketika hujan deras ditambah nyaris tengah malam. Sebutir aspirin rasanya masih tak cukup untuk sekedar meredakan rasa nyeri. Aku meneguk setengah botol air mineral sisa tadi sore makan di restoran seafood untuk sekedar membasahi tenggorokanku yang terus terasa kering. Untuk sekian lama aku tak menggunakan benda itu, kuoleskan sedikit-demi sedikit pada titik nyeri berharap semuanya cepat membaik, yup,  balsem. Entah kapan aku terakhir kali menggunakannya. Tumpukan metropop yang berserakan bercumbu dengan beberapa novel karya penulis asing dan penulis Indonesia kubiarkan mereka mesra saling tindih begitu saja diatas meja, entah kenapa untuk saat ini mual rasanya ketika harus dipaksakan membaca buku. Sticky notes yang menempel tak karuan pada layar lcd monitor yang sudah lama tak kugunakan mendadak menambah runyam pemandangan, belum lagi benda-benda lain yang berbaris tak beraturan seperti anak SD yang sedang belajar PBB, beberapa kabel data, pecahan uang dua puluh ribuan dan beberapa lembar uang dua ribuan, note pribadi, dua buah stabilo beda warna, gelas dengan sisa kopi yang menempel didasarnya, kacamata dengan posisi telentang, hp and guess what? Satu botol sambal terasi.

Aku memaksakan diri membuat omelet untuk sekedar mengganjal rasa lapar, malas rasanya untuk jalan keluar cari ayam bakar, sate kambing atau nasi goreng sosis. Dan sialnya, si akang-akang yang jual bakso malang lewat begitu saja ketika aku baru selesai sholat isya. Nggak lucu kan kalau selesai salam langsung lari-lari buka pagar depan dan teriak-teriak manggil si akang? Pandangan mataku tertuju pada beberapa kemeja dan kaus serta jaket yang tergantung di halaman belakang, akhir-akhir ini entah kenapa lagi gila-gilanya jalan kaki, bahkan nyaris tengah malam ditengah guyuran gerimis dan dinginnya kota kembang. Hampir semua koleksi baju dan kemejaku yang memang sedikit basah kuyup oleh keringat. Satu jam jalan kaki tanpa berhenti sudah seperti jalan kaki 15 menit, mungkin karena saking rajinnya. Atau mungkin karena saat jalan kaki aku bisa mengingat setiap momen yang kuhabiskan dengannya, setiap detik ketika duduk berdua menikmati hidangan dengan asap yang mengepul saat hujan mengguyur langit November.

Momen-momen bersamanya kini bertarung dengan rasa nyeri dikepalaku, seolah berebut untuk menempati posisi tertinggi dengan saling injak. Seperti slide yang bergerak mundur, setiap gambaran tentangnya kini menghiasi ubun-ubunku, menutupi seluruh lapisan otakku. Mungkin terlalu hiperbola, tapi entah bahasa apa yang harus digunakan untuk mendeskripsikan bahwa kita sedang rindu akan seseorang? Kini yang terlintas dibenakku adalah bait-bait puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat diucapkan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, karena memang aku tak punya sesuatu yang berlebih. Hei wait.. sejak kapan aku memakai kata cinta ketika berbicara tentang kita? Apakah sejak company dinner malam minggu kemarin ketika mataku dan matamu yang indah itu bertatapan untuk beberapa detik?

Kalau mungkin ada award tentang pria yang tak pernah mampu mengungkapkan cinta lewat kata-kata, mungkin aku bisa meraihnya dengan mudah. Lidahku selalu kelu rasanya hanya sekedar untuk berkata 'Hei, i love you'. Yup, hanya seperti itu, tanpa ada embel-embel kata-kata manis lain apalagi beberapa baris puisi yang mungkin terlintas.

Namanya Sera, teman satu kantorku, aku di divisi IT dan dia di divisi keuangan. Aku hanya punya satu alasan ketika merasa mulai tertarik padanya, tatapan matanya menyejukkan. Ya tuhan, setiap kali tak sengaja bertatapan dengannya aku seperti disiram air es, atau mungkin aku layaknya seorang musafir yang tersesat ditengah gurun pasir ganas yang kemudian bertatapan langsung dengan oase yang pastinya bukan sekedar fatamorgana.

Cinta bisa datang karena pertemuan, aku sendiri tak pernah membantah kata-kata itu. Meeting seluruh team yang berlangsung seminggu sekali dengan konsep have fun karena selalu bertempat di kafe atau restoran hotel menjadi jadwal rutinku untuk bertemu dengannya. Memang aku dan Sera satu kantor, namun sayangnya kantor khusus untuk divisi IT dipisah dengan divisi lainnya. Si boss hanya beralasan tidak mau kalau sampai business core nya terganggu cuma karena staf divisi IT yang semuanya kaum adam malah kerjanya menggoda staf dari divisi lain yang semuanya kaum hawa. Alasan yang menyebalkan, memang, karena itu artinya aku tak bisa setiap jam kerja  melihatnya berpenampilan rapi, atau hanya sekedar mengajaknya makan siang bareng di warung padang, atau hanya sekedar untuk mengajaknya hangout setiap jam pulang kantor. Jangan pernah berpikiran untuk sebuah kencan, aku tak pernah berani untuk memintanya.

***

“Mau bareng? Daripada nanti harus jalan kaki lagi..” katanya.

“Boleh” cuma itu yang bisa aku katakan ketika menjawab ajakannya untuk pulang bareng usai meeting mingguan dengan si boss dan staf lain di salah satu kafe di Cihampelas Walk. Aku berjalan beriringan dengannya tanpa banyak bersuara. Langkah kakinya cepat, tak seperti yang kusangka. Agak aneh memang, terutama untuk typical cewe seperti Sera yang bahkan dalam setahun entah pernah naik angkot atau tidak. Selama study di Bandung sampai saat ini, dia cuma tahu satu angkot jurusan Sarijadi ke ST Hall (nama lain dari Stasiun Bandung) dari sekian banyak rute angkot yang tersebar di kota dan kabupaten Bandung.

Bahkan ketika lift naik ke ataspun aku masih tak bisa berkata apa-apa, sesekali hanya mencuri pandang dari pantulan dinding lift. Sera nampak anggun, seperti biasanya. Kulihat dia memeluk macbook pronya sambil sesekali melihat angka berwarna merah itu terus bertambah. Lift yang kami naiki terus naik ke lantai berikutnya, dan nyaliku masih saja turun ketika hendak memulai percakapan dengannya.

Mobil yang dikemudikannya melaju ditengah guyuran gerimis dan kemacetan panjang di sekitar Jalan Cipaganti, aku cuma duduk sambil sesekali memperhatikan Sera yang sedang khusyuk dengan lagu-lagu John Mayer yang dia putar. Lalu lintas weekend di Bandung memang semakin parah karena banyaknya 'tamu' dari Jakarta dan sekitarnya. Jalanan yang biasanya agak macet jadi benar-benar macet ketika 'tamu-tamu' itu datang usai jam kantor selesai. Aku justru bersyukur, ini artinya ada lebih banyak waktuku untuk berdua dengannya, meskipun hampir 30 menit sudah masing-masing dari kami tak ada yang bicara.

“Liburan akhir tahun nanti mau kemana?” akhirnya hanya itu yang bisa kuucapkan untuk memecah keheningan.

“Aku mau liburan ke China, udah kangen banget sama street food yang ada disana, sekalian mau berkunjung ke kampus dulu waktu pertukaran mahasiswa”. Bibir manisnya menjelaskan namun pandangannya tetap lurus ke depan.

“Kapan?” tanyaku singkat.

“Rabu depan berangkat, rencana balik setelah tahun baru”. Kali ini dia memandangku sekilas, tatapan mata kami sempat bertemu beberapa detik sampai kemudian semuanya buyar oleh klakson mobil di belakang.

“Oh sh*t, secepat itukah?” Ini sama sekali tak kuucapkan. Ada sesuatu yang mengganjal tiba-tiba.

Apakah perbedaan itu indah? Sehingga dalam beberapa kasus percintaan banyak yang mensyukuri betapa indahnya perbedaan. We're too different, kita begitu berbeda dalam semua, persis seperti apa kata Soe Hok Gie, namun yang menjadi pembeda adalah kalimat berikutnya, dan mungkin tak terkecuali dalam cinta. Aku tak pernah bisa menerka bagaimana perasaannya. Jangan pernah berpikir untuk bertanya langsung. Dan dia? Sera? Apakah dia menyadari bahwa ada seseorang yang sedang berusaha untuk lebih dekat dengannya ketika aku, dengan bodohnya hanya bisa mengirimkan whatsapp memanggil namanya, dan kemudian ketika dia membalas tak pernah kubalas dengan satu katapun. Berakhir begitu saja.

Ada begitu banyak perbedaan diantara aku dan Sera, sebagian nampak melankolis seperti dongeng-dongeng masa lalu, sebagian lagi bersinggungan langsung atas nama Tuhan. Ketika aku merasa nyaman saat berjalan kaki jarak jauh entah itu untuk sekedar menghadiri meeting atau iseng sekalian olah raga, berpeluh disiang hari bolong sampai-sampai bermandikan keringat dan malu naik angkot karena merasa tak enak hati dengan penumpang lain (apalagi kalau di dalam angkot ada neng-neng cantik mojang priangan), Sera lebih nyaman dengan CRVnya, menikmati lagu-lagu John Mayer kesukaannya hanya untuk mengenyahkan rasa bosan ketika bermacet-macetan. Ketika buatku jalan kaki sekitar 5 KM itu dekat, mungkin untuknya, untuk si cantik pemilik mata yang indah itu, entah dia bisa pingsan berapa kali sampai akhirnya bisa sampai tujuan tanpa ditandu. Beruntung Sera tak punya cheap food allergy, ini pernah kubuktikan sendiri saat kami berdua makan Banros di pinggir jalan Istana Plaza setelah meeting selama kurang lebih 2 jam.

“Gila ih, enak pisan.” katanya, sambil kemudian memasukkan satu Banros utuh kedalam mulutnya sekali lahap. Bidadariku sedang kelaparan nampaknya. Oh god, apa yang baru saja kukatakan?

***

Pernah merasakan bagaimana rasanya ketika jatuh cinta pada seseorang namun kita sadar setengah mampus kalau ternyata terlalu banyak perbedaan yang kemungkinan besar kisah yang akan dilalui nanti takkan pernah tertulis dalam satu halamanpun? Ditambah lagi dengan pengecutnya diri hanya sekedar untuk mengungkapkan rasa cinta secara langsung?

Aku tiba-tiba merasa sedikit melancholic malam ini, ketika staf lain dengan rajin hilir mudik memilih appetizer saat kami duduk bersama disini, di Restoran Hilton Bandung dalam rangka company dinner tahunan. Untuk orang desa sepertiku, aneh rasanya ketika harus menghabiskan makanan seharga hampir setengah juta untuk satu kali makan. Kalaulah boleh ngasih saran ke si boss kalau company dinnernya lebih baik diadakan di warung padang dekat kantor divisi IT itu, tapi sepertinya tak mungkin juga. Belum apa-apa mungkin aku sudah dikeroyok oleh staf lain.

“Please deh, lo nggak usah kayak orang susah yang gak sanggup makan di restoran sekelas di Hilton..” mungkin itu yang akan dikatakan si Andi, salah seorang staf divisi IT yang lakinya abis karena keseringan nonton K-POP.

Tidak selamanya masalah hidup itu hanya berkutat dengan uang, bukan? Apakah dengan bisa membeli semuanya lantas kita beli semua barang yang bahkan sama sekali tidak dibutuhkan? Ketika aku memutuskan untuk jalan kaki daripada naik ojek, naik angkot, naik taksi atau bahkan beli kendaraan sendiri, just because i like it. Aku punya lebih banyak waktu untuk mengingat setiap inchi jalan yang kulewati, entah itu dibawah terik matahari ataupun guyuran hujan. Dalam setiap langkahnya aku bisa banyak berpikir tentang perjalananku selama ini, terkadang merenung tentang masa depan yang kadang nampak hitam, kadang nampak putih bahkan terkadang abu-abu. Aku bisa dengan mudah menikmati setiap denyut nadi kehidupan masyarakat sekitar, menggunakan jalur yang sama yang dilalui oleh akang-akang penjual bakso cuanki, bapak-bapak yang menggeret gerobak sampah, anak-anak putus sekolah dengan tampilan serampangan dan dekil, petugas dinas kebersihan kota Bandung yang biasa membersihkan ruas jalan Sukajadi, para pendatang baru di kota kembang yang dengan terkagum-kagum menelusuri ruas jalan Cipaganti yang rindang dan dipenuhi dengan rumah-rumah peninggalan zaman kolonial. Entah apa yang bisa kunikmati ketika hanya duduk manis dalam jok mobil dengan AC nya yang dingin dan ditemani dengan alunan musik. Aku lebih suka mendengarkan instrumen suara hujan ketika rintiknya jatuh menerpa genteng-genteng rumah, menghujam tanah dan jalanan beraspal dan kemudian menghadirkan bau hujan yang khas yang tak dapat kuhirup dari dalam mobil yang terturup rapat.

Norimaki sushi menjadi hidangan pembukaku malam ini. Aku melihatnya dengan balutan gaun malam yang mempesona, rambutnya tergerai indah, dan ya Tuhan lihatlah matanya. Entah sanggup berapa detik ketika aku harus bertatapan lagi dengannya tanpa cidera. Sebuah kebetulan atau bukan, yang pasti Sera duduk persis berhadapan denganku. Dia masih sibuk dengan beberapa potong sosis, tangannya sibuk memotong sosis menjadi bagian-bagian yang lebih kecil kemudian dengan anggun melahapnya. Sesekali kulihat matanya terpejam seperti sedang menikmati sensasi hidangan yang dia makan. Aku sadari, Sera terlihat lebih seksi ketika matanya terpejam dan bibirnya bergerak perlahan menikmati setiap inchi sosis yang dilahapnya.

Butuh waktu sekitar 5 detik sampai akhirnya aku menyadari apa yang terjadi, gelas yang ku pegang jatuh pecah menghantam lantai restoran. Tatapan itu, ya, tatapan itu terlalu menghipnotis, membuatku tak bisa berpikir dengan jernih namun rasanya aku tak pernah mau melepaskan tatapannya. Beruntung tak ada staf lain yang melihat aku dan Sera sempat bertatapan beberapa detik sampai kemudian suasana pecah karena gelas yang menghantam lantai pecah berserakan. Staf lain termasuk si boss dan beberapa pengunjung serta chef dan waitress sempat menoleh ke arah sumber suara. Tapi kemudian mereka sibuk dengan acara berburu menu lain beberapa detik kemudian.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Sera cemas ketika aku membantu waitress yang dengan ramahnya memungut potongan gelas kaca yang berserakan.

“It's ok, aku nggak apa-apa kok” jawabku mantap, meskipun sebetulnya setengah malu.

Setelah berceramah singkat dan menyampaikan ucapan terima kasih dari client perusahaan kami yang tersebar di US, India, Australia dan sebagian di Europe. Si boss menutup acara company dinner tahun ini. Beberapa staf masih berfoto-foto sebelum saling berpamitan, aku lebih memilih duduk diam menghabiskan chocolate milkshake yang masih sisa tiga perempatnya.

“All, balik nebeng ya, udah mau jam 11 nih, gila aja kalau harus jalan kaki dari sini” bujukku pada si modis Allysa.

“Ok sip, gw juga mau anter Sera dulu kok, nanti bareng aja” jawaban Allysa mencekat tenggorokanku yang kini tiba-tiba terasa kering.

***

Si modis yang kini memakai kacamata tanpa kaca itu mengendarai mobilnya dengan cukup ngebut, memecah jalan Pasir Kaliki yang masih saja ramai meskipun hujan rintik-rintik, mungkin karena ini malam minggu. Aku duduk di belakang sementara Sera di depan. Mereka berdua memang teman dekat sejak kuliah dulu, aku maklumi kalau akhirnya mereka lebih memilih berbicara tentang hal-hal berbau ke-cewe-an dan mengingat memori-memori masa lalu daripada memperhatikan penumpang yang sedang duduk ngelamun dengan menyumpal kupingnya sambil mendengarkan lagu-lagu dari iPod.

Aku sengaja mendengarkan musik dengan volume tak lebih dari 40% sehingga tetap dapat mendengar apa yang Allysa dan Sera bicarakan. Sampai ketika di persimpangan RSHS, ada percakapan yang membuatku ciut dan seolah ingin loncat langsung dari mobil. Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun