“Rabu depan berangkat, rencana balik setelah tahun baru”. Kali ini dia memandangku sekilas, tatapan mata kami sempat bertemu beberapa detik sampai kemudian semuanya buyar oleh klakson mobil di belakang.
“Oh sh*t, secepat itukah?” Ini sama sekali tak kuucapkan. Ada sesuatu yang mengganjal tiba-tiba.
Apakah perbedaan itu indah? Sehingga dalam beberapa kasus percintaan banyak yang mensyukuri betapa indahnya perbedaan. We're too different, kita begitu berbeda dalam semua, persis seperti apa kata Soe Hok Gie, namun yang menjadi pembeda adalah kalimat berikutnya, dan mungkin tak terkecuali dalam cinta. Aku tak pernah bisa menerka bagaimana perasaannya. Jangan pernah berpikir untuk bertanya langsung. Dan dia? Sera? Apakah dia menyadari bahwa ada seseorang yang sedang berusaha untuk lebih dekat dengannya ketika aku, dengan bodohnya hanya bisa mengirimkan whatsapp memanggil namanya, dan kemudian ketika dia membalas tak pernah kubalas dengan satu katapun. Berakhir begitu saja.
Ada begitu banyak perbedaan diantara aku dan Sera, sebagian nampak melankolis seperti dongeng-dongeng masa lalu, sebagian lagi bersinggungan langsung atas nama Tuhan. Ketika aku merasa nyaman saat berjalan kaki jarak jauh entah itu untuk sekedar menghadiri meeting atau iseng sekalian olah raga, berpeluh disiang hari bolong sampai-sampai bermandikan keringat dan malu naik angkot karena merasa tak enak hati dengan penumpang lain (apalagi kalau di dalam angkot ada neng-neng cantik mojang priangan), Sera lebih nyaman dengan CRVnya, menikmati lagu-lagu John Mayer kesukaannya hanya untuk mengenyahkan rasa bosan ketika bermacet-macetan. Ketika buatku jalan kaki sekitar 5 KM itu dekat, mungkin untuknya, untuk si cantik pemilik mata yang indah itu, entah dia bisa pingsan berapa kali sampai akhirnya bisa sampai tujuan tanpa ditandu. Beruntung Sera tak punya cheap food allergy, ini pernah kubuktikan sendiri saat kami berdua makan Banros di pinggir jalan Istana Plaza setelah meeting selama kurang lebih 2 jam.
“Gila ih, enak pisan.” katanya, sambil kemudian memasukkan satu Banros utuh kedalam mulutnya sekali lahap. Bidadariku sedang kelaparan nampaknya. Oh god, apa yang baru saja kukatakan?
***
Pernah merasakan bagaimana rasanya ketika jatuh cinta pada seseorang namun kita sadar setengah mampus kalau ternyata terlalu banyak perbedaan yang kemungkinan besar kisah yang akan dilalui nanti takkan pernah tertulis dalam satu halamanpun? Ditambah lagi dengan pengecutnya diri hanya sekedar untuk mengungkapkan rasa cinta secara langsung?
Aku tiba-tiba merasa sedikit melancholic malam ini, ketika staf lain dengan rajin hilir mudik memilih appetizer saat kami duduk bersama disini, di Restoran Hilton Bandung dalam rangka company dinner tahunan. Untuk orang desa sepertiku, aneh rasanya ketika harus menghabiskan makanan seharga hampir setengah juta untuk satu kali makan. Kalaulah boleh ngasih saran ke si boss kalau company dinnernya lebih baik diadakan di warung padang dekat kantor divisi IT itu, tapi sepertinya tak mungkin juga. Belum apa-apa mungkin aku sudah dikeroyok oleh staf lain.
“Please deh, lo nggak usah kayak orang susah yang gak sanggup makan di restoran sekelas di Hilton..” mungkin itu yang akan dikatakan si Andi, salah seorang staf divisi IT yang lakinya abis karena keseringan nonton K-POP.
Tidak selamanya masalah hidup itu hanya berkutat dengan uang, bukan? Apakah dengan bisa membeli semuanya lantas kita beli semua barang yang bahkan sama sekali tidak dibutuhkan? Ketika aku memutuskan untuk jalan kaki daripada naik ojek, naik angkot, naik taksi atau bahkan beli kendaraan sendiri, just because i like it. Aku punya lebih banyak waktu untuk mengingat setiap inchi jalan yang kulewati, entah itu dibawah terik matahari ataupun guyuran hujan. Dalam setiap langkahnya aku bisa banyak berpikir tentang perjalananku selama ini, terkadang merenung tentang masa depan yang kadang nampak hitam, kadang nampak putih bahkan terkadang abu-abu. Aku bisa dengan mudah menikmati setiap denyut nadi kehidupan masyarakat sekitar, menggunakan jalur yang sama yang dilalui oleh akang-akang penjual bakso cuanki, bapak-bapak yang menggeret gerobak sampah, anak-anak putus sekolah dengan tampilan serampangan dan dekil, petugas dinas kebersihan kota Bandung yang biasa membersihkan ruas jalan Sukajadi, para pendatang baru di kota kembang yang dengan terkagum-kagum menelusuri ruas jalan Cipaganti yang rindang dan dipenuhi dengan rumah-rumah peninggalan zaman kolonial. Entah apa yang bisa kunikmati ketika hanya duduk manis dalam jok mobil dengan AC nya yang dingin dan ditemani dengan alunan musik. Aku lebih suka mendengarkan instrumen suara hujan ketika rintiknya jatuh menerpa genteng-genteng rumah, menghujam tanah dan jalanan beraspal dan kemudian menghadirkan bau hujan yang khas yang tak dapat kuhirup dari dalam mobil yang terturup rapat.
Norimaki sushi menjadi hidangan pembukaku malam ini. Aku melihatnya dengan balutan gaun malam yang mempesona, rambutnya tergerai indah, dan ya Tuhan lihatlah matanya. Entah sanggup berapa detik ketika aku harus bertatapan lagi dengannya tanpa cidera. Sebuah kebetulan atau bukan, yang pasti Sera duduk persis berhadapan denganku. Dia masih sibuk dengan beberapa potong sosis, tangannya sibuk memotong sosis menjadi bagian-bagian yang lebih kecil kemudian dengan anggun melahapnya. Sesekali kulihat matanya terpejam seperti sedang menikmati sensasi hidangan yang dia makan. Aku sadari, Sera terlihat lebih seksi ketika matanya terpejam dan bibirnya bergerak perlahan menikmati setiap inchi sosis yang dilahapnya.