Dan yang sedikit mengherankan, pemerintah justru membuat pagar-pagar dalam bentuk salah satunya adalah sertifikasi profesi bagi tenaga kerja asing, guna menghambat masuknya mereka dengan leluasa untuk bekerja disini, alasannya begitu. Yang seharusnya menurut saya, selain kebijakan pagar tersebut, juga harus didampingi dengan kebijakan dalam mengembangkan softskill para pemuda angkatan kerja ini. Sehingga merekapun memiliki kemampuan alami untuk nantinya bersaing dengan tenaga kerja asing walau tanpa proteksi, jika dibutuhkan.
Kepada teman-teman pemuda, daya saing kita akan tetap lemah jika hanya mengandalkan keterampilan teknis saja, tanpa didukung keterampilan softskill. Tidak ada kondisi bekerja dimanapun yang akan sesuai dengan kemauan kita! kitalah yang wajib beradaptasi dengan kondisi kerja apapun dan dimanapun! Isilah keseharian kita dengan memahami betul apa arti daya juang, daya tahan, daya saing, dan daya-daya lainnya yang membuat kita menjadi pemuda yang berdaya bukan tak berdaya!
Ada salah satu kawan yang memiliki usaha jasa outsourcing tenaga kerja programer yang sebagian besar dikirim ke US, Eropa, termasuk Amerika Latin. Ternyata beliau mempekerjakan hampir 80% tenaga kerjanya adalah orang-orang India ataupun Eropa Timur.
Suatu ketika saya bertanya kepada beliau, “Bos, kenapa elu pake orang India? Kan murahan tenaga kerja programer kita?”, jawabnya,”Bro, gue kirim orang untuk kerja dipelosok dunia sebagai tenaga programer profesional. Elu tahu, kalau gue pake orang kita, die minta pulang setahun dua kali! Lebaran ama tahun baru minimal! Nah kalo gue pake orang India, dia kaga pernah minta pulang!”, lanjutnya, ”Bukan itu aja, orang kita, saat masih kontrak, terus ditawar perusahaan laen, cuman lebihan dikit gajinya, udah minta pindah, kaga ada bro loyalitasnya! Duit melulu!”. “hmmm”, guman saya dalam hati, sama saja dengan apa yang saya alami selama ini.
Ini bukan perkara mudah, pendidikan yang selama ini dibangun dan dikembangkan ternyata barulah melahirkan pemuda-pemudi yang berhasil masuk ke usia produktif, tetapi belum mampu menghasilkan mentalitas produktif. Teringat salah satu bacaan favorit saya, "People are not your most important asset. The right people are…” (Manusia bukanlah aset terpenting, tetapi manusia unggul itulah aset terpenting).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H