[caption caption="sumber:http://pinterest.com"][/caption]
Suatu ketika saya mengajukan pertanyaan kepada beberapa teman, dimana saat itu kami sedang riungan bersama. “ Bro, sebut satu kata yang menggambarkan Yusril Ihza Mahendra (YIM) secara positif yang ada dibenak kalian? Saya kasih waktu 5 detik!”. Pertanyaan yang wajar menurut saya, untuk ditujukan kepada mereka ini. Dikarenakan kesukaan mereka dalam mengamati apapun dan siapapun, walau tampaknya sebagai komentator mereka jauh lebih suka.
Mengamati, membutuhkan banyak kasus untuk bisa sampai kepada satu kesimpulan. Sementara sebagai komentator, cukup hanya dengan satu kasus, lalu dikomentari. Ilmu komentar yang mereka miliki jangan ditanya, terasa pahit komentar-komentarnya.
Empat orang ditambah saya, sehingga total lima orang, dengan hasil: dua orang mengatakan, “Cerdas”, satu orang mengatakan, “Determinasi”, satu orang lagi mengatakan, “Berani”, dan sisanya mengatakan, “Orator”. “Ok, sekarang sebutkan yang negatifnya, boleh dua kata, dan dalam waktu 10 detik?!”, kali ini saya longgarkan waktunya agar lebih leluasa, sesuai dengan peminatan mereka dalam bidang cela-mencela. Dua orang mengatakan,” Muka sombong”, satu orang mengatakan ,“Gaya sinis”, satu orang berikutnya mengatakan,”Tidak saleable”, dan sisanya mengatakan, “Terlalu reaktif”.
Berikutnya saya lempar kembali pertanyaan ke teman-teman tadi,”Sebutkan satu kata yang menggambarkan Ust Hilmi Aminuddin (HA) secara positif, yang ada dibenak kalian? Saya kasih waktu 5 detik!”. Dengan harapan mereka dapat merespon dengan cepat, sesuai dengan waktu yang saya berikan. Ke empat orang tersebut saling memandang, dan dengan kompak bertanya kepada saya, “ Yang ustadz PKS itu?”. Ternyata mereka tidak memiliki pengetahuan apapun untuk bisa dikomentari atas sosok pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut. “Sangat menarik untuk dikupas”, guman saya dalam hati.
Pertanyaan berikutnya tidak saya lanjutkan. Sambil terus berpikir dan mencoba menganalisa atas ketidak tahuan mereka tentang sosok HA tadi. Padahal, kedua-duanya adalah pendiri partai. Usia partai yang mereka dirikan relatif hampir bersamaan waktunya. Menariknya lagi, kedua partai tersebut sama-sama berbasis Islam. Namun YIM lebih tenar.
Lalu apakah kemudian ketenaran YIM berbanding lurus dengan perolehan suaranya? Bahkan Parliementary Treshold 3,5%, tidak mampu ditembus oleh Partai Bulan Bintang (PBB) pada pemilu legislatif 2014, melainkan hanya 1,46%. Sementara HA, yang notabene relatif sangat jarang tampil di publik, tetapi partainya mampu menembus 6,79%, bahkan diatas PPP, dedengkotnya partai Islam.
Masyarakat mengenal HA justru saat munculnya konflik internal PKS, yang melibatkan HA dengan sesama unsur pendiri PKS, yaitu Yusuf Supendi. Kemudian kasus sapi, yang juga menyeret PKS, termasuk pemanggilan HA oleh KPK. Keduanya bukanlah kasus yang positif, khususnya bagi HA maupun PKS. Lalu apa yang membuat partai usungan HA jauh lebih kinclong perolehan suaranya dibanding PBB? Padahal dihadapan publik, YIM jauh lebih dikenal daripada HA, dan YIM sangat jarang mendapatkan publikasi negatif, kecuali kasus sisminbakum, itupun YIM menang atas perkara tersebut.
Walaupun survey riungan ini bukanlah tandingan Litbang Kompas, ataupun CSIS, akan tetapi fakta ini menarik untuk dapat dijadikan pelajaran. PKS jauh lebih populer daripada HA, sementara YIM jauh lebih populer daripada PBB. YIM sangat aktif di berbagai media, sementara seorang HA bahkan tidak memiliki website pribadi. YIM sangat intelektual dan memiliki gelar tertinggi bagi seorang akademisi, yaitu Profesor. Sementara HA ‘hanyalah’ seorang lulusan sarjana dari Madinah, Arab Saudi.
Hampir di setiap momen, termasuk saat ulang tahunnya yang ke 60, YIM sangat piawai dalam menarik perhatian publik. Intelektualitas dan kepakaran YIM diakui publik. Dalam banyak hal, YIM mampu menunjukkan kemampuannya menyelesaikan masalah, sebagai ciri seorang fighter.
Lantas apa penyebab YIM dengan PBB-nya, belum mampu mengalahkan hasil suara HA dengan PKS nya pada setiap Pemilu? Jika masalah ini cukup dibatasi dengan perspektif gaya kepemimpinan, maka hipotesis saya sementara ini adalah perbedaan fokus dan strategi diantara mereka.
YIM menyadari bahwa dirinya memiliki popularitas, sejak dari awal bergulirnya reformasi di negara ini. Popularitas adalah salah satu senjata yang sangat efektif jika tepat penggunaanya, dan YIM berusaha untuk terus membangun serta mempertahankan popularitas tersebut. Mungkin harapan YIM adalah dengan popularitas dirinya, tiba saatnya akan mampu untuk mengangkat popularitas PBB. Strategi ini dinilai efektif, apalagi ditambah kemampuan YIM dalam mengisi jabatan penting pada pemerintahan siapapun juga.
Namun sayangnya, popularitas yang dimiliki YIM berada pada segmen menengah keatas, bukan pada segmen menengah kebawah, yang terdiri dari 80% jumlah pemilih. YIM perlu menambah strategi baru untuk bisa mengikat kalangan menengah kebawah. Saya teringat pembicaraan beberapa tahun yang lalu dengan salah seorang pebisnis di industri film nasional. Dia mengatakan,” Bos, ente tahu? Bahwa masyarakat kita senangnya dengan film yang ringan-ringan, bukan yang berat-berat. Ente tahu bro, bahwa rating tertinggi film kita saat ini adalah ‘Jin dan Jun’ dan ‘Tuyul dan Mbak Yul’, itu fakta bro”.
Profil YIM, dengan kekuatan intelektual dan popularitasnya, menjadi kontra-produktif ketika harus dihadapkan pada segmen menengah kebawah. Mereka lebih menyukai sesuatu yang ‘ringan-ringan’ saja. Padahal, profil YIM sebagai pemimpin adalah profil yang dibutuhkan bangsa ini yaitu cerdas, berani dan memiliki kepakaran dibidang ilmu hukum tata negara.
Berbeda dengan HA, dia menyadari betul bahwa dirinya jauh dari popularitas. Sehingga HA lebih memilih untuk fokus pada upaya pembangunan sistem kaderisasi dan rekrutmen melalui jalur dakwah, yang memang kekuatan beliau. Energi HA digunakan untuk membangun sistem, sementara energi YIM digunakan untuk membangun popularitas.
HA mampu melahirkan pemimpin-pemimpin dengan wajah baru, yang muncul dari dalam organisasinya. Sebutlah nama-nama seperti Tifatul Sembiring, Hidayat Nur Wahid, Shohibul Iman dan tokoh-tokoh muda PKS lainnya. Organisasi ini tidak pernah kehabisan calon pemimpin, padahal usianya relatif masih muda. Sementara YIM masih pada fase penguatan organisasi, sehingga YIM masih merasa perlu untuk kembali menjabat sebagai Ketua Umum partai.
Jadi, bagi anda yang belum memiliki popularitas, jangan berkecil hati untuk terjun ke dunia politik, sepanjang anda memiliki strategi yang tepat dalam mendulang suara. Sementara bagi anda yang sudah memiliki popularitas, jangan hanya mengandalkan itu saja, perlu didampingi dengan strategi lain agar popularitas anda semakin produktif.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H