Mohon tunggu...
Teguh Primandanu
Teguh Primandanu Mohon Tunggu... -

Manusia biasa yang banyak salah dan masih butuh banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sebenarnya "Jancuk" Itu Apa?

16 April 2018   02:12 Diperbarui: 28 September 2020   14:25 3084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia kaya akan khasanah budaya, salah satunya yaitu bahasa yang setiap hari kita gunakan untuk berkomunikasi. Kini di Indonesia bahasa lebih kurang ada 546 bahasa yang tentunya beragam dan unik. 

Dengan bahasa itu sudah menjadikan semboyan Bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.

Terkadang sesama Bahasa Jawa saja dapat terbagi lagi, yaitu Bahasa Jawa halus dan juga Bahasa Jawa kasar, alangkah kayanya Bahasa Indonesia ini.

Berbicara Bahasa Jawa, tentu semua orang jawa sudah tidak asing lagi dengan kata 'jancuk'. 

Menurut Kamus Daring Universitas Gadjah Mada, istilah "jancuk, jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok" memiliki makna "sialan, brengsek yaitu ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang luar biasa".

Tetapi menurut sebagian orang arti kata 'jancuk' juga bisa membuat persaudaraan semakin erat dan lebih akrab, tergantung pada seseorang itu mengucapkannya. 

"Jancuk merupakan simbol keakraban, simbol kehangatan, dan simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya "jancuk" kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. (Sujiwo Tejo, 2012 : 397)".

"Jancuk" itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari penggunanya dan suasana psikologis si pengguna. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. 

Begitupun "jancuk", bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti.

Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan.

"Jancuk" laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. "Jancuk" dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan(Sujiwo Tedjo, 2012, halaman x).

Kata 'jancuk' biasanya digunakan oleh seseorang dengan niat yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan untuk menyapa, seperti "cok kate nandi? (cok mau kemana?)", "piye kabarmu cok? (bagaimana kabarmu cok?)".

Ada juga yang menggunakannya sebagai kata seruan untuk menyuruh seseorang, seperti "jupukno lading cok! (ambilkan pisau cok!)", "bukakno lawang cok! (bukakan pintu cok!)" dan lain sebagainya.

Meskipun memiliki konotasi buruk kata 'jancuk' menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya, bahkan digunakan untuk meningkatkan rasa kebersamaan. 

Apalagi seperti daerah Malang, Surabaya dan sekitarnya, kini kata 'jancuk' sudah melekat dan seakan-akan menjadi bahasa keseharian mereka.

Kebanyakan kata 'jancuk' itu menjadi imbuhan yang bisa menambah keakraban seseorang, tergantung dari cara penyampaian orang tersebut. 

Meskipun tergolong bahasa gaul anak muda, kata tersebut masih terasa tidak pantas untuk digunakan memanggil orang tua karena arti sebenarnya adalah kata kotor.

Tidak ada kata 'jancuk' yang diungkapkan dalam rangka kejahatan. 'Jancuk' merupakan reaksi seseorang terhadap perbuatan kejahatan. Justru dia protes terhadap kejahatan itu. 

Semua itu dilakukan atau diucapkan lalu muncul sebagai idiom budaya karena kemurnian manusia untuk selalu bereaksi melawan kedzaliman.

Jadi jancukers adalah kumpulan orang-orang yang melawan kedzaliman (Emha Ainun Najib / Cak Nun).

Pada intinya, apabila kita sudah yakin tidak akan menyakiti orang lain ketika berkata 'jancuk', itu tidak akan membawa dampak buruk bagi kita. Justru kebersamaan dan persaudaraan akan terjalin. 

Orang yang belum terbiasa mendengar kata 'jancuk' juga akan beranggapan bahwa orang yang mengucapkannya adalah orang yang berkata tidak baik dan merasa tidak nyaman ketika ada seseorang yang mengucapkannya.

Oleh karena itu, tidak semua orang dapat menerima kata 'jancuk'. Alangkah lebih baik apabila mengucapkan kata itu juga melihat situasi dan kondisi sekitar. 

Apabila lingkungan mendukung dan sudah menjadi kebiasaan daerah itu, tak akan menjadi masalah apabila kita mengucapkannya dalam rangka menjalin persaudaraan. 

Tetapi jika lingkungan tidak mendukung seperti di Jawa Tengah. Meskipun Jawa Tengah menggunakan Bahasa Jawa, tetapi lebih banyak ke Bahasa Jawa halus.

Apabila kita mengucapkan kata 'jancuk' pada masyarakat seperti itu, akan terasa saru atau aneh.

Mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata. Kritik dan saran sangat dibutuhkan bagi penulis.

Terima Kasih.

Semoga bermanfaat. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun