Dalam beberapa kasus, ruwatan dilakukan dengan melibatkan doa-doa yang bersumber dari ajaran Islam. Masyarakat Kudus sering menggabungkan doa-doa Islami dengan adat Jawa yang sudah ada, menciptakan sebuah perpaduan yang unik antara dua tradisi. Hal ini menunjukkan bagaimana Islam dan budaya Jawa bisa berjalan berdampingan dalam kehidupan sehari-hari tanpa saling bertentangan.
 Selain itu, masyarakat Kudus juga sering melakukan tahlilan, sebuah ritual doa bersama yang diadakan pada hari-hari tertentu setelah seseorang meninggal dunia. Tahlilan merupakan tradisi yang sangat dikenal dalam budaya Islam, tetapi dalam praktiknya di Kudus, tahlilan juga dipadukan dengan elemen-elemen budaya Jawa, seperti pembacaan doa yang dilanjutkan dengan makan bersama.
 Praktik tahlilan ini menunjukkan bagaimana budaya Jawa bisa diharmoniskan dengan ajaran Islam, terutama dalam hal ritual dan tradisi kematian. Selain sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah meninggal, tahlilan juga berfungsi sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi antarwarga masyarakat, yang menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa.
 Masyarakat Kudus juga menjaga tradisi saling bantu-membantu dalam kegiatan keagamaan. Misalnya, dalam pembangunan masjid atau kegiatan-kegiatan sosial keagamaan lainnya, warga Kudus sering bekerja sama secara gotong-royong. Hal ini merupakan tradisi yang sangat kuat dalam masyarakat Jawa, yang sering kali dihubungkan dengan nilai-nilai kebersamaan dan saling membantu.
Dalam konteks Masjid Sunan Kudus, gotong-royong ini menciptakan rasa kebersamaan yang kuat antarwarga, tidak hanya dalam aspek sosial, tetapi juga dalam aspek spiritual. Masyarakat yang terlibat dalam kegiatan masjid merasa bahwa mereka berperan dalam pembangunan tidak hanya dari sisi fisik, tetapi juga dalam pembangunan spiritual dan moral umat Islam di Kudus.
 Keberadaan tradisi-tradisi ini menggambarkan bahwa masyarakat Kudus sangat menjaga keseimbangan antara budaya lokal dan ajaran agama Islam. Tidak ada perasaan bahwa salah satu tradisi lebih penting daripada yang lain, melainkan keduanya saling melengkapi dan memperkaya kehidupan spiritual masyarakat. Sunan Kudus, sebagai pemimpin spiritual, berhasil mengharmoniskan dua dunia tersebut tanpa membuat masyarakat merasa tertekan untuk memilih salah satu.
 Ini adalah contoh bagaimana Islam di Kudus berkembang dengan sangat kontekstual, dengan memperhatikan budaya yang sudah ada. Bahkan, beberapa tradisi Jawa yang tampaknya tidak berhubungan dengan Islam pun dapat diadaptasi dengan cara yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini menunjukkan fleksibilitas Islam dalam menghadapi keberagaman budaya.
 Masyarakat Kudus pun melihat Islam bukan sebagai sesuatu yang memaksa perubahan, tetapi sebagai agama yang dapat diterima dan dijalani dalam kerangka budaya mereka sendiri. Proses dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus telah membentuk identitas agama yang kuat namun tetap menghargai dan melestarikan kebudayaan Jawa.
 Dengan demikian, Masjid Sunan Kudus menjadi contoh konkret dari bagaimana tradisi keagamaan Islam dan budaya Jawa dapat berjalan berdampingan, saling mengisi dan memperkaya satu sama lain. Tradisi-tradisi seperti sedekah bumi, ruwatan, tahlilan, dan gotong-royong menunjukkan bahwa Islam di Kudus bukan hanya sebuah agama yang diajarkan dalam teori, tetapi juga dalam praktik yang menyentuh kehidupan sehari-hari masyarakat.
Â
Masjid Sunan Kudus dan Identitas Budaya