[caption id="attachment_22606" align="alignleft" width="300" caption="Grup Sinten Remen"][/caption]Drama saling bunuh dengan tagline 'Buaya Lawan Cicak' memasuki babak lanjut. Semakin seru dan bertambah rumit. Tapi ditengah kompleksitasnya ada alegori menggelitik bila dikaitkan dengan sebuah tembang karya Sinten Remen berjudul Komidi Puter. Sebuah Grup musik yang di gawangi G. Djaduk Ferianto.
Potongan lirik dalam lagu Komidi Puter tampak pas untuk menertawakan drama Buaya-Cicak. Ya, terkesan pas, baik konyol maupun kemirisannya.
"Komidi puter sudah dijalankan
badut badut menari sambil melingkar "
Awal lagu dibuka dengan gaya lirik seperti orang mengejek 'ha e..ha..e..ha..e nang ning neng nong' disambung dua bait di atas. Sebuah komidi putar memang sedang dipentaskan ditengah masyarakat yang silih berganti menampilkan tampang-tampang seolah-seolah masing-masing tidak punya dosa. Dan seperti para badut mereka menari melingkar di belakang layar media pasang kudas-kuda dan strategi.
Potongan lirik berikutnya agak tajam mengata-ngatai para pejabat kita.
"Kata orang negara ini bersatu
kok malah pejabatnya pada lucu
jegal sana main sikut [sana sana kentut]
bau mulut nya badut seperti kentut
bikin rakyat makin hari makin takut"
Bukankah kita sudah muak dengan pledoi para buaya dan Cicak di layar televisi kita, bukankah itu seperti komedi tahun lawas yang tidak lagi renyah mengocok perut. Tampang-tampang dengan muka tegang tampak begitu menakutkan. Coba bayangkan mereka, berada di atas ring saling jotos dengan tiap jotosan dibarengi bunyi kentut yang keras. Itu baru lucu tapi bikin mual perut.
Sementara di lagu yang lain Repormasi, ada lirik yang menarik menyingkap tentang suap menyuap.
"Jaman baru bukan harapan baru
yang bersalah mestinya ounya malu
repormasi kok cuma berganti baju
tanpa ragu terima suap selalu."
Dan di luar drama politik yang marak menjejal media, di luar sana Sinten Remen cuma bernyanyi,
"Bendera melambai lambai dilangit
bisik bisik di kuping rasanya sakit
airmata dan darah menjadi tumpah."
Agaknya memang kita harus rehat sejenak disuguhi komidi yang berputar membosankan. Menyimak lagu keroncong progresif dengan lirik menyentil paling tidak bisa membikin kita senyum-senyum sendiri. Dan tampaknya kita tak perlu turut menambah rumit pertumparan air mata dan darah yang sudah menggenang luas.
Lalu Djaduk menutup Komidi Puter dengan berkata "Saling cakar tapi lupa rakyat lapar."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H