Mohon tunggu...
Sosbud

Merayakan Kota Melalui Ruang Publik

30 September 2015   23:10 Diperbarui: 1 Oktober 2015   00:21 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah lama terlelap, Bandung kini mulai menggeliat. Ia tak lagi sekadar Ibukota Jawa Barat, ikon pariwisata, tetapi juga kota yang ramah bagi warga lokal. Melalui beragam ruang publik yang disedikan pemerintah, mereka tak lagi terpinggirkan dan lantas menjadi penonton, namun juga terlibat aktif, intens, dan menjadi saksi kelahiran kembali kota berjuluk Parijs van Java.

Terik sinar matahari di musim kemarau yang kering membuat hampir setiap orang enggan untuk beraktivitas di luar ruangan. Namun alih-alih berlindung diri ruangan berpendingin udara sambil berselancar di dunia maya, sebagian warga Bandung lebih senang menghabiskan waktu di Taman Alun-Alun.

Siang itu, keramaian warga tampak kentara betul. Paparan sinar matahari dan hawa panas memang membuat lapangan rumput sintetis yang terletak di muka Mesjid Agung Bandung itu lengang. Pasalnya, sebagian besar orang memilih bercengkrama di sudut-sudut taman yang teduh, di sekitar taman bunga, ataupun di bagian belakang Taman Alun-Alun yang dinaungi deretan pepohonan rindang.

Aktivitas yang dilakukan warga pun beragam. Mulai dari sekadar menyusuri taman mengobrol antar teman, bersantai di bangku-bangku yang tersedia, menikmati pengganan ringan dan berat, hingga sibuk berswafoto (selfie) bersama teman-teman. Kegiatan semacam ini tak hanya terbatas ditemui di Taman Alun-Alun, tetapi juga menjalar hingga berbagai ruas jalan di sekitar Gedung Merdeka.

Sekilas, berbagai kegiatan yang dilakukan urang Bandung di ruang publik ini tampak remeh. Namun bagi walikota Ridwan Kamil, aktivitas semacam ini sangat penting bagi kesehatan psikologis warganya. Itulah sebabnya, Kang Emil―begitu sapaan akrabnya― memilih untuk merevitalisasi dan membangun banyak ruang publik yang dirancang senyaman ruang keluarga.

Identitas Kota

Kehadiran taman-taman kota di Bandung sebenarnya bukan fenomena baru. Pasalnya, sejak dasawarsa kedua abad ke-20, gagasan Kota Taman (Tuinsland) telah disuntikkan dalam planologi kota yang saat itu dipersiapkan sebagai Ibukota Hindia-Belanda menggantikan Batavia. Uniknya ide itu baru mewujud setelah rencana besar itu mangkrak akibat kelesuan ekonomi dunia.

Untuk kepentingan itu, pemerintah Staadgemente Bandung pun menyewa jasa planolog ternama, Thomas Karsten. Selama lima tahun (1930-1935), ia merancang rencana planologi yang kelak bertajuk Karsten Plan. Di dalamnya, konsep kota taman diaplikasikan melalui perancangan ruas-ruas jalan yang dipayungi pephonan rindang, penentuan standar alokasi taman-taman kota, pengaplikasian konsep bangunan terbuka (Open Western-Bouw).

Konsep Kota Taman dalam Karsten Plan inilah yang hendak dihidupkan kembali oleh Ridwan Kamil dengan sentuhan yang baru. Ia melihat, warga Bandung memiliki kecenderungan yang tinggi untuk berinteraksi di ruang publik. Namun selama ini aktivitas itu lebih banyak dilakukan di dalam ruangan, terutama pusat perbelanjaan moderen (mall), rumah makan, dan kafetaria.

Kecenderungan pemilihan lokasi itu, tentu saja tak terlepas dari buruknya kualitas ruang-ruang publik yang tersedia di Bandung. Oleh karena itu, Emil kemudian membenahi dan membangun berbagai ruang publik tematik, seperti Taman Film, Persib, Jomblo, ataupun Fotografi yang tak saja menawarkan kenyamanan, tetapi juga beragam fasilitas pendukung yang serba gratis. Walhasil fasilitas-fasilitas umum semacam ini pun segera dibanjiri warga.

Namun keberhasilan proyek ini tak membuat sang walikota lantas puas. Pasalnya, arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mendambakan hadirnya sebuah ruang publik raksasa yang mengintegrasikan berbagai fasilitas umum, seperti taman, bangunan, dan ikon-ikon kota lainnya. Di sana kelak warga akan melakoni berbagai aktivitas, sebagai bentuk ekspresi dan apresiasi terhadap ruang kota.

Gayung pun bersambut. Kebetulan, pada awal 2015, Bandung didaulat sebagai salahsatu kota penyelenggara peringatan Konferensi Asia-Afrika ke-60. Pemerintah pusat pun mengucurkan dana besar untuk membenahi tampilan kota Bandung. Sang walikota pun segera bergerak. Dalam waktu singkat, ia berhasil mengemasulang dan mempercantik tampilan kota menjadi semarak sehingga Bandung masih pantas dijuluki Ibukota Asia-Afrika.

Selepas hajatan sepuluhtahunan itu, sang walikota memutuskan untuk  mengalihfungsikan berbagai fasilitas umum pendukung acara Peringatan KAA ke-60 itu menjadi ruang publik raksasa yang dapat dinikmati warga kota. Walhasil sejak digelarnya pawai rakyat pada 26 April 2015, hingga sekarang Taman Alun-Alun dan jalan di sekitar Gedung Merdeka tak pernah sepi pengunjung. Bandung pun kembali menjelma sebagai Het Parijs van Java.

Citra ini diperkuat dengan tampilan trotoar berbahan granit yang dihias oleh beragam bunga, ukiran antik, dan kursi besi (Tiah SM, 11 April 2015). Selain itu, pemasangan lampu dan kehadiran bangunan bergaya Art Deco semakin mengentalkan suasana tempo dulu. Agar aroma Eropa kian menyeruak, Emil bahkan berencana menutup akses kendaraan di beberapa jalan sehingga warga lebih leluasa untuk berlama-lama di kawasan ini.

Tak hanya itu, perancangan kawasan di sekitar Gedung Merdeka terispirasi dari beberapa kota di Eropa yang pernah dikunjungi sang walikota (Galih,23 April 2015). Untuk menerangi wilayah ini, misalnya, ia mendaptasi gaya penataan lampu kota Praha. Sementara untuk tiang-tiang penerangan di jalan Cikapundung Timur, ia mengambilnya dari kota Venezia. Adapun, pemasangan 300 bangku besi di sekeliling Gedung KAA serupa seperti di berbagai ruang publik di Kota Cannes.

Di masa depan, penataan kawasan semacam ini akan diperluas ke berbagai titik. Tahun depan, misalnya, ada enam jalan didesain ulang dengan konsep serupa. Selain ruas Jalan Ir. H Juanda hingga Merdeka, terdapat pula Jalan Buahbatu, Mochamad Toha, Sudirman dan Cibadak, dan Kawasan Kiaracondong (Ramdhani, 30 Juni 2015).

Secara keseluruhan dibutuhkan biaya sekitar 1 triliyun Rupiah dan waktu 15 tahun untuk mengembalikan julukan Het Parijs van Java (Kurniawan, 11 April 2015). Beruntung, Emil mendapat banyak sokongan dari kaum profesional―termasuk sederet arsitek, para investor, dan warga kota yang memiliki impian serupa untuk mengembalikan sebutan Bandung yang legendaris itu.

Kota untuk Warga

Melalui ruang publik, sebagian identitas lawas kota Bandung yang lama terkubur dapat dihadirkan kembali dengan sentuhan kekinian. Perpaduan ini membuat warga kota tak merasa terasing. Sebaliknya, mereka berupaya membangun relasi antara masa lampau dan kini dengan cara yang samasekali baru dan tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Lebih dari itu, antusiasme warga yang memadati fasilitas-fasilitas umum hampir setiap hari merupakan eskpresi kebanggaan, upaya mengenal lebih jauh, dan bentuk apresiasi mendalam terhadap Kota Kembang. Kini, perlahan tapi pasti, Bandung mulai menjelma menjadi kota yang ramah dan dirayakan oleh warganya. Semoga saja! (TvA)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun