Oleh: Teguh Meinanda
Ingat Golkar ingat Setya Novanto. Tidak boleh tidak, sebab masyarakat kita merupakan masyarakat pelupa. Lupa terhadap peristiwa yang pernah mengabaikan kepercayaan dan amanat yang diberikan oleh kita semua.
Kasus etika bernegara yang telah dimainkan oleh Setya Novanto itu, sangat mencederai kepercayan dan amanat masyarakat, sehingga harus dihukum oleh seluruh bangsa ini. Bagaimana tidak, perilaku korup yang diperlihatkan Setya Novanto dalam pertemuan dengan Presiden Direktur PT. Freeport merupakan indikasi kebobrokan ahlak dan moral yang tak bisa ditolerir.
Semakin mengerikan ketika Golkar justru mengabaikan apa yang diperlihatkan Setya Novanto, yaitu dengan ringannya mendapuk tuduhan-tuduhan atau reaksi masyarakat terhadap kesalahan Setya Novanto. Golkar malah menunjuk Setya Novanto untuk memimpin Fraksi Golkar di DPR-RI, setelah mengundurkan diri dari kursi Ketua.
Luar biasa, inilah dagelan politik yang bukannya membuat masyrakat tertawa terpingkal-pingkal melainkan sebaliknya muntah-muntah dan ingin meludahinya. Golkar tidak lagi memiliki suara rakyat, karena suara rakyat tidak pernah didengar. Entah suara apa yang diwakilinya, sebab perilaku Setya Novanto itu telah jadi perbincangan masyarakat yang tak bisa dibantah lagi merupakan suara rakyat.
Golkar tak peka terhadap persoalan yang tengah terjadi dipanggung parlemen. Setya Novanto yang meposisikan orang kuat dan penting itu seolah dapat mengatur segala hal yang ada dalam tata kelola kenegaraan, sehingga begitu superior dengan mengaku bisa mengatur perpanjangan kontrak Freeport bersama seorang pengusaha bernama Reza Chalid.
Sudah kita ketahui bersama apa yang dilakukan Setya Novanto saat rekaman diperdengarkan. Meski Setya Novanto sendiri mengatakan bahwa rekaman itu ilegal. Masalahnya, orang yang baru nongol ke bumi pun pasti tertawa, apalagi masyarakat yang sudah dewasa terutrama kaum berpendidikan, yang mendengar dengan jelas bahwa Setya Novanto sedang mengelak dengan menyembunyikan substansi persoalannya.
Dalam kaitan ini, entah apa yang ada dalam benak pimpinan Golkar. Atau mungkin mereka ini tak bisa menangkap kalimat demi kalimat yang diperdengarkan dalam rekaman itu, sehingga menutup mata demi membela Setya Novanto. Tetapi kalau ini yang terjadi, mungkin si Fulan yang baru lulus SD akan mengatakan bahwa orang-orang Golkar sedang terserang penyakit buta-tuli. Paling tidak menyerang elit Golkar tertentu yang punya kedekatan dengan Setya Novanto, sehingga mengabaikan suara rakyat yang jelas-jelas ingin menghukum dari awal ketika perilaku atau kelakukan Ketua DPR-RI itu muncul diketahui publik secara luas.
Tentu saja keadaan itu punya imbas yang tidak kecil. Apalagi diwarnai oleh sidang MKD yang membuat emosi masyarakat merasa dipermainkan. Bagaimana tidak, Para Yang Mulya dalam sidang MKD itu hanya ngaler ngidul tak fokus pada masalah pelanggaran etika Setya Novanto. Tetapi mengorek terlalu jauh yang diantaranya berusaha mati-matian untuk menyelamatkan Sang Ketua DPR itu.
Anti Klimaks
Persidangan MKD itu sendiri sangat anti klimaks, karena tak ada keputusan yang mengikat Setya Novanto divonis bersalah. Sebaliknya persidangan dimaksud telah menjadi candaan dan bahan tertawaan, sebab Para Yang Mulya yang ingin menyelematkan Setya Novanto malah dalam posisi terjebak. Maksud hati agar kasusnya berputar-putar, kemudian menjatuhkan pelanggaran berat, sehingga memungkinkan dibawa ke persidangan panel yang boleh jadi membuka peluang Setya Novanto lolos dari hukuman etik.
Sidang melalui panelis, sebagaimana dikatakan para ahli dan pengamat, akan membuat proses kasus Setya Novanto jadi panjang, sehingga membuat publik bosan, dan bukan tidak mungkin masyarakat jadi lupa sama sekali. Akhirnya, seperti yang sudah-sudah kasus pelanggaran etik itu berhembus seperti angin.
Hanya saja , dengan tiba-tibanya muncul surat pengunduran diri, hukuman etik dengan kriteria berat dari para pembela Setya Novanto itu berubah menjadi vonis yang tidak main-main, akibat MKD langsung merespon surat pengunduran diri Setya Novanto. Dengan demikian, langsung menjadi vonis yang mematikan dari para koleganya itu. Vonis berat mengharuskan Setya Novanto mundur dari DPR-RI.
Oleh karena itu, jelas sekali Para Yang Mulya dari Fraksi Golkar dan Fraksi lain yang menjadi konco Setya Novanto, telah menjatuhkan vonis sebenar-benarnya yang tak bisa dibantah, yaitu Setya Novanto telah melakukan pelanggaran berat. Sementara yang lain hanya pelanggaran sedang, sehingga Setya Novanto masih boleh berkiprah di DPR-RI kendati bukan ketua lagi. Padahal mereka yang mayoritas ini sejak awal ingin menghukum Setya Novanto yang telah melihat pelanggaran etiknya sejak kasus itu bergulir.
Tetapi bagaimana mungkin, wakil Golkar yang ada di MKD telah memvonis dengan pelanggaran berat, justru partainnya sendiri tidak menggubris, malah mengangkat Setya Novanto jadi Ketua Fraksi Golkar. Ini namanya jeruk makan jeruk.
Orang boleh saja berdalih bahwa ini panggung politik, sehingga persoalan tidak harus diakhiri secara hitam putih. Dunia politik adalah dunia abu-abu yang bisa ditarik kesana-kemari. Model ini memang pernah mewarnai panggung tanah air ketika Orde Baru berkuasa. Pada waktu itu pemain dan wasit jadi satu, sehingga aturan bisa dibuat suka-suka sesuai kepentingan penguasa.
Tetapi jangan lupa, jaman telah berubah yang menunjukan politik segala cara telah dihentikan bersamaan dengan bubarnya rezim orde baru. Lalu kenapa Golkar masih bermain-main dengan politik abu-abu yang mengabaikan moral dan etika yang seharusnya jadi pegangan? Golkar boleh jadi sedang lupa ingatan, bahwa demokrasi beretika yang sedang dibangun bangsa ini seolah masih berada dalam kekuasaannya. Atau boleh jadi juga, orang-orang orde baru masih ngedon disana, sehingga tetap memaksakan diri untuk berprilaku seperti dulu saat kekuasaan masih dimainkan mereka?
Jadi, masayarakat jika nanti harus memilih, ingatlah pada sosok Setya Novanto, tokoh Gokkar yang telah mengabaikan etika dan amanat masyarakat. Sekali lagi, ingat Golkar ingatlah perilaku Setya Novanto. ***
                                                                           Penulis, pensiunan wartawan tinggal di Cagak-Subang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H