Sidang melalui panelis, sebagaimana dikatakan para ahli dan pengamat, akan membuat proses kasus Setya Novanto jadi panjang, sehingga membuat publik bosan, dan bukan tidak mungkin masyarakat jadi lupa sama sekali. Akhirnya, seperti yang sudah-sudah kasus pelanggaran etik itu berhembus seperti angin.
Hanya saja , dengan tiba-tibanya muncul surat pengunduran diri, hukuman etik dengan kriteria berat dari para pembela Setya Novanto itu berubah menjadi vonis yang tidak main-main, akibat MKD langsung merespon surat pengunduran diri Setya Novanto. Dengan demikian, langsung menjadi vonis yang mematikan dari para koleganya itu. Vonis berat mengharuskan Setya Novanto mundur dari DPR-RI.
Oleh karena itu, jelas sekali Para Yang Mulya dari Fraksi Golkar dan Fraksi lain yang menjadi konco Setya Novanto, telah menjatuhkan vonis sebenar-benarnya yang tak bisa dibantah, yaitu Setya Novanto telah melakukan pelanggaran berat. Sementara yang lain hanya pelanggaran sedang, sehingga Setya Novanto masih boleh berkiprah di DPR-RI kendati bukan ketua lagi. Padahal mereka yang mayoritas ini sejak awal ingin menghukum Setya Novanto yang telah melihat pelanggaran etiknya sejak kasus itu bergulir.
Tetapi bagaimana mungkin, wakil Golkar yang ada di MKD telah memvonis dengan pelanggaran berat, justru partainnya sendiri tidak menggubris, malah mengangkat Setya Novanto jadi Ketua Fraksi Golkar. Ini namanya jeruk makan jeruk.
Orang boleh saja berdalih bahwa ini panggung politik, sehingga persoalan tidak harus diakhiri secara hitam putih. Dunia politik adalah dunia abu-abu yang bisa ditarik kesana-kemari. Model ini memang pernah mewarnai panggung tanah air ketika Orde Baru berkuasa. Pada waktu itu pemain dan wasit jadi satu, sehingga aturan bisa dibuat suka-suka sesuai kepentingan penguasa.
Tetapi jangan lupa, jaman telah berubah yang menunjukan politik segala cara telah dihentikan bersamaan dengan bubarnya rezim orde baru. Lalu kenapa Golkar masih bermain-main dengan politik abu-abu yang mengabaikan moral dan etika yang seharusnya jadi pegangan? Golkar boleh jadi sedang lupa ingatan, bahwa demokrasi beretika yang sedang dibangun bangsa ini seolah masih berada dalam kekuasaannya. Atau boleh jadi juga, orang-orang orde baru masih ngedon disana, sehingga tetap memaksakan diri untuk berprilaku seperti dulu saat kekuasaan masih dimainkan mereka?
Jadi, masayarakat jika nanti harus memilih, ingatlah pada sosok Setya Novanto, tokoh Gokkar yang telah mengabaikan etika dan amanat masyarakat. Sekali lagi, ingat Golkar ingatlah perilaku Setya Novanto. ***
                                                                           Penulis, pensiunan wartawan tinggal di Cagak-Subang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H