Mohon tunggu...
teguh imam suryadi
teguh imam suryadi Mohon Tunggu... Penikmat kopi gilingan sampai sachetan

Penikmat kopi gilingan sampai sachetan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pencari Darah Agresif di Masa Pandemi COVID-19

12 Juni 2020   09:14 Diperbarui: 12 Juni 2020   09:23 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana donor di PMI Pusat Jakarta--dokpri

Pernahkah anda 'ditodong' untuk menyerahkan darah? Saya baru mengalaminya..

Thalassemia atau  talasemia adalah nama pemberian dokter Thomas Benton Cooley pada tahun 1925 untuk sebuah penyakit darah bawaan.

Benton menemukan anak-anak yang menderita anemia dengan karakter khas, terjadi pembesaran limpa setelah anak berusia satu tahun.

Penderita talasemia bisa dilihat dari sel darahnya. Biasanya jumlah protein pembawa oksigen (hemoglobin) dan sel darah merah dalam tubuhnya kurang dari jumlah normal. Makanya orang dengan talasemia jadi gampang capek.

Dalam sebuah artikel, dr Pustika Amalia W, SpA(K), dari Divisi Hematologi - Onkologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Cipto Mangunkusumo, menyebut pasien talasemia tidak bisa memproduksi sel darah merah yang baik. Jadi, harus mendapat transfusi darah dari orang lain.

"Normalnya sel darah merah itu pecah 120 hari. Tapi pada orang talasemia, pecahnya kurang dari 30 hari. Makanya mereka mengalami anemia parah," kata dr Amalia.

Sayangnya, sampai sekararang belum ada obat talasemia kecuali penderita mencukupi kebutuhan sel darah merah melalui transfusi darah setiap bulan.

Tetapi transfusi darah  punya efek samping kelebihan zat besi yang jika dibiarkan bisa fatal akibatnya.

Di Indonesia tahun 2019 terdapat 10.000 kasus talasemia, sementara ada 150.000 di dunia. Makanya penyakit ini tergolong langka.

Lalu, bagaimana penderita talasemia mendapat darah setiap bulannya?

"Jatah darah dari PMI sih ada, tapi stoknya enggak selalu ada. Apalagi sejak pandemi CoVID 19, susah pak dapat darah," kata seorang ibu, yang  anaknya talasemia di kantor PMI Pusat, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu kemarin.

Ibu itu membawa dua remaja perempuan, mereka ikut antre bersama warga lainnya di luar pintu masuk PMI yang bersebelahan dengan Gedung Dewan Dakwah. Hari itu PMI Pusat ramai permintaan darah.

"Pak, darahnya boleh untuk saya ya? Untuk teman anak saya ini, dia juga talasemia," katanya. 

Sejak pertama donor darah di tahun 1988, baru hari itu saya 'ditodong'  darah. Agak kaget dan curiga, saya pikir ibu itu cuma modus, bagian dari sindikat jual-beli darah. 

Tapi saya salah sangka.  Seorang petugas PMI, membenarkan sikap ibu yang meminta darah pada saya. "Ada surat rekomendasi dari rumahsakit untuk mereka yang perlu darah. Tetapi, kami tidak punya stok, jadi mereka langsung minta ke pendonor," jelas petugas tadi.

Saya pun mahfum dengan apa yang dilakukan ibu tadi. Maka, langsung mengisi formulir, menimbang berat badan, dan cek darah dan kesehatan secara umum. "Tekanan darah dan kadar HB bagus. Silakan masuk ke ruang donor di lantai 5," kata dokter yang meriksa saya di lantai dasar.

Petugas di lantai 5, di ruang donor sudah siap mencobloskan jarum ke lekukan bagian dalam siku kiri saya. 

"Boleh saya ambil 450 Cc, pak?" kata petugas berjilbab dengan ramah.

"Biasanya 350 Cc. Tapi gak apa-apa juga," kata saya. Dalam hati, toh darah ini akan langsung dipakai oleh orang yang jelas butuh, dan orangnya di depan mata.

"Kalau nanti merasakan pusing atau mual, beritahu saya pak," lanjutnya. Alhamdulillah proses donor lancar.

Saya pun membayangkan bagaimana penderita talasemia atau penyakit lainnya yang tidak mendapatkan darah selama CoVID 19 bercokol, dan ketika saat ini jumlah pendonor darah di PMI menurun sampai 90 persen.

Tiba-tiba saya merasa lebih beruntung.**

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun