Ibu itu membawa dua remaja perempuan, mereka ikut antre bersama warga lainnya di luar pintu masuk PMI yang bersebelahan dengan Gedung Dewan Dakwah. Hari itu PMI Pusat ramai permintaan darah.
"Pak, darahnya boleh untuk saya ya? Untuk teman anak saya ini, dia juga talasemia," katanya.Â
Sejak pertama donor darah di tahun 1988, baru hari itu saya 'ditodong' Â darah. Agak kaget dan curiga, saya pikir ibu itu cuma modus, bagian dari sindikat jual-beli darah.Â
Tapi saya salah sangka. Â Seorang petugas PMI, membenarkan sikap ibu yang meminta darah pada saya. "Ada surat rekomendasi dari rumahsakit untuk mereka yang perlu darah. Tetapi, kami tidak punya stok, jadi mereka langsung minta ke pendonor," jelas petugas tadi.
Saya pun mahfum dengan apa yang dilakukan ibu tadi. Maka, langsung mengisi formulir, menimbang berat badan, dan cek darah dan kesehatan secara umum. "Tekanan darah dan kadar HB bagus. Silakan masuk ke ruang donor di lantai 5," kata dokter yang meriksa saya di lantai dasar.
Petugas di lantai 5, di ruang donor sudah siap mencobloskan jarum ke lekukan bagian dalam siku kiri saya.Â
"Boleh saya ambil 450 Cc, pak?" kata petugas berjilbab dengan ramah.
"Biasanya 350 Cc. Tapi gak apa-apa juga," kata saya. Dalam hati, toh darah ini akan langsung dipakai oleh orang yang jelas butuh, dan orangnya di depan mata.
"Kalau nanti merasakan pusing atau mual, beritahu saya pak," lanjutnya. Alhamdulillah proses donor lancar.
Saya pun membayangkan bagaimana penderita talasemia atau penyakit lainnya yang tidak mendapatkan darah selama CoVID 19 bercokol, dan ketika saat ini jumlah pendonor darah di PMI menurun sampai 90 persen.
Tiba-tiba saya merasa lebih beruntung.**