Mohon tunggu...
teguh imam suryadi
teguh imam suryadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penikmat kopi gilingan sampai sachetan

Penikmat kopi gilingan sampai sachetan.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Melongok Velodrome Jakarta, Mengenang Tong Setan

14 Oktober 2018   12:06 Diperbarui: 16 Oktober 2018   11:11 1740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Intinya, tidak ada yang klenik di dalam akrobat yang mencomot nama

Gedung Balap Sepeda Velodrome di Rawamangun, Jakarta Timur kini tampil megah memanjakan mata; berstandar internasional. Terkagum-kagum saya ketika pertama menginjakkan kaki di pintu masuk kawasan seluas 9,5 hektar itu pada Kamis, 11 Oktober 2018. 

Terakhir mampir ke tempat ini sekitar 1983, waktu pengambilan nilai olahraga di SMP. Pada awal pembangunannya tahun 1973, Velodrome digunakan sebagai lintasan balap luar ruangan berstandar nasional. 

Menjelang perhelatan Asian Games 2018 tempat ini diruntuhkan dan dibangun-ulang. Lintasannya diformat untuk lomba di dalam ruangan, sepanjang 250 meter.

dokpri
dokpri
Menyaksikan laga final balap sepeda antar penyandang disabilitas tingkat Asia pada gelaran Asian Para Games 2018 hari itu, posisi duduk saya merapat dengan batas arena balap. Duduk di zona tikungan memungkinkan untuk bersalaman dengan para pebalap.

Tikungan ini memiliki tingkat kemiringan 45 derajat. Dalam kondisi tertentu, kita bisa menyapa pebalap saat mereka melakukan selebrasi kemenangan. Nah, saya berada di posisi asik itu. 

dokpri
dokpri
Beberapa penonton di samping kanan-kiri berusaha meraih tangan pebalap. Atau mungkin ingin bersalaman, tapi tidak mendapat respon. Tentu berbahaya jika pebalap berhenti di titik itu. Bisa-bisa dia jatuh tersungkur.

Ruangan megah dengan warna dan tata cahaya lampu cerah bertema 'merah putih' itu relatif sepi. Sekitar 500-an penonton duduk di kursi.

Sementara, kapasitas penonton mencapai 3000 an orang. Tapi, suara pekik penonton yang sedikit itu mampu membunuh sepi hingga laga berakhir.

Di bagian tengah lintasan balap, ada ruang lapangan yang tampak fleksibel untuk bermacam kegiatan. Kabarnya fasilitas itu bisa dipakai kegiatan olahraga volley, bola keranjang, dan futsal. Bahkan layak untuk konser musik. Tim cheerleader masing-masing negara memompa semangat dan memberi hiburan kepada para jagoan mereka. 

Di papan skor digital, nama-nama negara itu terpampang antaranya dari China, Malaysia, dan Jepang/dokpri
Di papan skor digital, nama-nama negara itu terpampang antaranya dari China, Malaysia, dan Jepang/dokpri
Tong Setan

Sekian kali pebalap melintasi tikungan, tiba-tiba pikiran saya terbang ke peristiwa lawas ketika masih bocah diajak nonton atraksi Tong Setan di pasar malam di daerah Cempaka Putih tahun 1970-an.

Atraksi Tong Setan atau 'motor gila' itu pertama dan terakhir yang saya lihat, tapi cukup membekas dalam ingatan. Adegan di dalam tong besar setinggi sekitar 3 meter itu, dua pengendara motor menjalankan motornya di dinding tong dari bahan kayu, entah jenis kayu apa.

Suara motor mereka meraung-raung membuat kuping budeg sementara. Asap mengepul sampai keluar dari atas bangunan tong. Dua penunggang motor edan; mereka melintas berputar-putar menempel di dinding yang kemiringannya 90 derajat tanpa terjatuh. Sesekali mereka bergandengan tangan.

Dalam ingatan bocah ketika itu, atraksi naik motor tong setan menginspirasi untuk melakukan hal yang sama. Atau, sama sekali tidak mau melakukannya. 

Saya termasuk yang terdorong untuk mencoba, dan sampai sekarang belum pernah. Juga harus berpikir ulang kalau ada yang menawari.Atraksi motor tong setan sering dianggap sebagai perlawanan terhadap gaya grativasi, didukung gaya sentripetal dan gaya gesek. Semua gaya itu ada dalam ilmu fisika. Bisa dipelajari. Bahwa si pengendara terlihat bergaya, ya karena didukung keberanian dan skill. 

Intinya, tidak ada yang klenik di dalam akrobat yang mencomot nama
Intinya, tidak ada yang klenik di dalam akrobat yang mencomot nama
Kayu siberia

Info menarik tentang gedung Velodrome (sekarang Jakarta International Velodrome) adalah bahan material lintasannya dibuat khusus dari material kayu siberia yang ada di Jerman.

Jenis kayu siberia sebenarnya setipe dengan kayu merbau dari Indonesia. Tapi, pemborong bangunan kawasan berbiaya Rp665 Miliar itu mengejar deadline, untuk acara Asian Games 2018, bulan Agustus lalu. Jika memakai kayu merbau, harus melalui penelitian agak panjang.

Pada laga final kemarin, saya datang sekitar jam 15.00 WIB sehingga cuma kebagian menyaksikan tiga nomor pertandingan. Sementara jadwal pertandingan (saya baca di website official) dimulai pukul 09.00-16.00 WIB.

Menonton Asian Para Games sudah dirancang bulat, tapi kesempatannya masih lonjong. 

dokpri
dokpri
Maka selepas meeting dengan sejumlah wartawan senior komunitas Masyarakat Peduli Jurnalistik (MPJ) di Kedai Nun, Jalan Daksinapati (kami menyebutnya Kandang Ayam), saya meluncur naik ojek online "Grabbike" membayar Rp10.000 (di aplikasi Grab tertulis Rp7.000) sampai pintu masuk Velodrome. 

Di sisi kanan Velodrome sudah berdiri Stasiun LRT (Light Rapid Transit). Kondisi LRT yang akan memintas jalan menuju Kelapa Gading itu dalam proses finishing dan ujicoba. 

Saya mengejar waktu untuk nonton balap sepeda, belum tertarik memasuki LRT ini, mungkin lain kali. LRT sendiri mirip dengan MRT (Mass Rapid Transit). Perbedaannya hanya dalam daya angkut. Kapasitas LRT jauh lebih kecil dibandingkan MRT. 

Tiket digital

Perjalanan nonton balap sepeda di Velodrome ini menjadi lebih berkesan, karena tiket saya dapatkan dari Ienas Tsuroiya, yang saya kenal di jejaring media sosial. Dia adalah anak dari tokoh kebudayaan dan spiritual muslim Kyai H Mustofa Bisri (Gus Mus).

dokpri
dokpri
Bagaimana saya bisa mendapatkan tiket itu? Begini ceritanya; pemilik akun twitter @tsuroiya itu sekitar jam 11.00 menulis status yang intinya bertanya, "Ada yang mau tiket nonton balap sepeda, hari ini?".

Kebetulan saya baca pengumuman itu, dan ada rencana ke Rawamangun, maka langsung menyambar, siap menangkap tiket gratis yang nyaris tak terpakai oleh pemiliknya. Tak lama Ienas Tsuroiya mengirim satu tiket digital melalui Dirrect Message.

dokpri
dokpri
Kejadian ini semacam dejavu, sama seperti ketika dulu menonton Tong Setan, saya juga dapat tiket gratis karena diajak oleh salahsatu paman. 

Soal tiket gratis ini sebenarnya sering datang tanpa saya minta, apalagi untuk urusan nonton pentas dan konser musik, film atau teater karena tugas profesi.

Hmm.. hidup itu sendiri sudah gratis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun