Gedung Balap Sepeda Velodrome di Rawamangun, Jakarta Timur kini tampil megah memanjakan mata; berstandar internasional. Terkagum-kagum saya ketika pertama menginjakkan kaki di pintu masuk kawasan seluas 9,5 hektar itu pada Kamis, 11 Oktober 2018.Â
Terakhir mampir ke tempat ini sekitar 1983, waktu pengambilan nilai olahraga di SMP. Pada awal pembangunannya tahun 1973, Velodrome digunakan sebagai lintasan balap luar ruangan berstandar nasional.Â
Menjelang perhelatan Asian Games 2018 tempat ini diruntuhkan dan dibangun-ulang. Lintasannya diformat untuk lomba di dalam ruangan, sepanjang 250 meter.
Tikungan ini memiliki tingkat kemiringan 45 derajat. Dalam kondisi tertentu, kita bisa menyapa pebalap saat mereka melakukan selebrasi kemenangan. Nah, saya berada di posisi asik itu.Â
Ruangan megah dengan warna dan tata cahaya lampu cerah bertema 'merah putih' itu relatif sepi. Sekitar 500-an penonton duduk di kursi.
Sementara, kapasitas penonton mencapai 3000 an orang. Tapi, suara pekik penonton yang sedikit itu mampu membunuh sepi hingga laga berakhir.
Di bagian tengah lintasan balap, ada ruang lapangan yang tampak fleksibel untuk bermacam kegiatan. Kabarnya fasilitas itu bisa dipakai kegiatan olahraga volley, bola keranjang, dan futsal. Bahkan layak untuk konser musik. Tim cheerleader masing-masing negara memompa semangat dan memberi hiburan kepada para jagoan mereka.Â
Sekian kali pebalap melintasi tikungan, tiba-tiba pikiran saya terbang ke peristiwa lawas ketika masih bocah diajak nonton atraksi Tong Setan di pasar malam di daerah Cempaka Putih tahun 1970-an.
Atraksi Tong Setan atau 'motor gila' itu pertama dan terakhir yang saya lihat, tapi cukup membekas dalam ingatan. Adegan di dalam tong besar setinggi sekitar 3 meter itu, dua pengendara motor menjalankan motornya di dinding tong dari bahan kayu, entah jenis kayu apa.
Suara motor mereka meraung-raung membuat kuping budeg sementara. Asap mengepul sampai keluar dari atas bangunan tong. Dua penunggang motor edan; mereka melintas berputar-putar menempel di dinding yang kemiringannya 90 derajat tanpa terjatuh. Sesekali mereka bergandengan tangan.
Dalam ingatan bocah ketika itu, atraksi naik motor tong setan menginspirasi untuk melakukan hal yang sama. Atau, sama sekali tidak mau melakukannya.Â
Saya termasuk yang terdorong untuk mencoba, dan sampai sekarang belum pernah. Juga harus berpikir ulang kalau ada yang menawari.Atraksi motor tong setan sering dianggap sebagai perlawanan terhadap gaya grativasi, didukung gaya sentripetal dan gaya gesek. Semua gaya itu ada dalam ilmu fisika. Bisa dipelajari. Bahwa si pengendara terlihat bergaya, ya karena didukung keberanian dan skill.Â
Info menarik tentang gedung Velodrome (sekarang Jakarta International Velodrome) adalah bahan material lintasannya dibuat khusus dari material kayu siberia yang ada di Jerman.
Jenis kayu siberia sebenarnya setipe dengan kayu merbau dari Indonesia. Tapi, pemborong bangunan kawasan berbiaya Rp665 Miliar itu mengejar deadline, untuk acara Asian Games 2018, bulan Agustus lalu. Jika memakai kayu merbau, harus melalui penelitian agak panjang.
Pada laga final kemarin, saya datang sekitar jam 15.00 WIB sehingga cuma kebagian menyaksikan tiga nomor pertandingan. Sementara jadwal pertandingan (saya baca di website official) dimulai pukul 09.00-16.00 WIB.
Menonton Asian Para Games sudah dirancang bulat, tapi kesempatannya masih lonjong.Â
Di sisi kanan Velodrome sudah berdiri Stasiun LRT (Light Rapid Transit). Kondisi LRT yang akan memintas jalan menuju Kelapa Gading itu dalam proses finishing dan ujicoba.Â
Saya mengejar waktu untuk nonton balap sepeda, belum tertarik memasuki LRT ini, mungkin lain kali. LRT sendiri mirip dengan MRT (Mass Rapid Transit). Perbedaannya hanya dalam daya angkut. Kapasitas LRT jauh lebih kecil dibandingkan MRT.Â
Tiket digital
Perjalanan nonton balap sepeda di Velodrome ini menjadi lebih berkesan, karena tiket saya dapatkan dari Ienas Tsuroiya, yang saya kenal di jejaring media sosial. Dia adalah anak dari tokoh kebudayaan dan spiritual muslim Kyai H Mustofa Bisri (Gus Mus).
Kebetulan saya baca pengumuman itu, dan ada rencana ke Rawamangun, maka langsung menyambar, siap menangkap tiket gratis yang nyaris tak terpakai oleh pemiliknya. Tak lama Ienas Tsuroiya mengirim satu tiket digital melalui Dirrect Message.
Soal tiket gratis ini sebenarnya sering datang tanpa saya minta, apalagi untuk urusan nonton pentas dan konser musik, film atau teater karena tugas profesi.
Hmm.. hidup itu sendiri sudah gratis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H