Tulisan ini saya comot dari akun Facebook saya  tanggal 12 Mei 2018. Mengapa saya unggah ke Kompasiana, jauh hari setelah tanggal itu? Tidak ada alasan lain, kecuali ingin mengisi konten Kompasiana, yang sempat terbengkalai dua tahun. Selama itu saya tdak bisa masuk 'kamar pribadi' di rumah Kompasiana.Â
Tanpa disengaja, saya bisa kembali memasuki kamar ini. Maka, saya menyambut dengan sukacita dan  memindahkan tulsan itu ke tempat yang lebih aman dan nyaman di sini, untuk berbagi cerita dengan pembaca yang berbeda.Â
Tulisan latepost ini  ingin mengajak kita semua menolak lupa atas peristiwa berdarah disertai amuk massa, menjelang ditegakkannya tonggak Reformasi 1998, yang ditandai tumbangnya rezim Orde Baru dimana Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun menjadi presiden...  Â
HARI INI 20 TAHUN LALU #REFORMASI
Matahari tidak begitu galak. Pulang nonton premiere film impor di Blok M Plaza, Selasa (12/5/1998) siang sekitar jam 11.30, saya mendengar kabar ada kerusuhan di daerah Grogol. Beberapa teman wartawan yang juga nonton (diundang mbak Rayni N. Massardi) membicarakan situasi di Grogol. Saya tinggalkan obrolan, bergegas ke tempat parkir gedung, merogoh kantong lalu nyomot kunci motor di dalamnya.
Vespa biru metalik tunggangan produksi 1991 itu berkapasitas 150 Cc. Dia lancar distater, ngebut dan lincah menyalip di celah kemacetan sepanjang jalan ke arah Grogol. Sebagian ruas jalan sudah tak bisa ditembus, saya berbelok melipir ke 'dalam' hingga tembus di depan Mal Ciputra. Mal sudah ditutup untuk parkir.
Kerumunan massa dengan wajah murka berteriak-teriak di kanan-kiri jalan. Saya mencopot helm penutup kepala, untuk "memperkenalkan diri" kepada massa beringas yang tersulut isu SARA.
Vespa meliuk-liuk di bawah jalan layang, tak ada tempat parkir tapi juga tak mungkin saya terus duduk diatas motor. Sesekali saya standarkan si biru, untuk merasakan aura kegilaan massa. Tepatnya, saya ingin melihat dari dekat chaos, yang menyebabkan beberapa kendaraan motor dan mobil hangus dibakar massa. Sok tau banget. Tapi insting sok tau ini ternyata penting untuk pekerjaan wartawan. Eh, iya apa gak?
Ah, betapa sangat ruginya saya saat itu, berada di spot terbaik tapi tidak membawa kamera, yang sebenarnya sering saya jinjing kemana-mana. Hari itu, saya "off" motret, jadi belum sempat ke kantor redaksi "Harian Terbit" di Pulo Gadung untuk minta jatah satu roll film seluloid merk KODAK dari sekretaris redaksi, mbak Tuti.
Sampai detik itu, tidak terfikir sedikitpun jika kerusuhan akan membahayakan diri. Mungkin karena merasa ada "jaminan" bahwa saya adalah pribumi. Situasi begitu mencekam. Beberapa rumah, toko dan warung-warung pun aman tak tersentuh tangan massa yang kalap, hanya dengan coretan besar di depan toko: "Milik Pribumi". Entah hembusan SARA dari mana yang membakar jiwa massa hari itu, tetapi sangat masif.
Saya ingat jelas dan merekam suasana hanya di dalam hati dan kepala. "Sialan, gue gak bawa kamera!" kata saya, kali ini kepada Anto, sepupu yang membonceng sejak dari Blok M tadi.