Mohon tunggu...
teguh imam suryadi
teguh imam suryadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penikmat kopi gilingan sampai sachetan

Penikmat kopi gilingan sampai sachetan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Ini 20 Tahun Lalu, #MenolakLupaReformasi

27 Mei 2018   13:37 Diperbarui: 29 Mei 2018   13:28 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini saya comot dari akun Facebook saya  tanggal 12 Mei 2018. Mengapa saya unggah ke Kompasiana, jauh hari setelah tanggal itu? Tidak ada alasan lain, kecuali ingin mengisi konten Kompasiana, yang sempat terbengkalai dua tahun. Selama itu saya tdak bisa masuk 'kamar pribadi' di rumah Kompasiana. 

Tanpa disengaja, saya bisa kembali memasuki kamar ini. Maka, saya menyambut dengan sukacita dan  memindahkan tulsan itu ke tempat yang lebih aman dan nyaman di sini, untuk berbagi cerita dengan pembaca yang berbeda. 

Tulisan latepost ini  ingin mengajak kita semua menolak lupa atas peristiwa berdarah disertai amuk massa, menjelang ditegakkannya tonggak Reformasi 1998, yang ditandai tumbangnya rezim Orde Baru dimana Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun menjadi presiden...   

HARI INI 20 TAHUN LALU #REFORMASI

Matahari tidak begitu galak. Pulang nonton premiere film impor di Blok M Plaza, Selasa (12/5/1998) siang sekitar jam 11.30, saya mendengar kabar ada kerusuhan di daerah Grogol. Beberapa teman wartawan yang juga nonton (diundang mbak Rayni N. Massardi) membicarakan situasi di Grogol. Saya tinggalkan obrolan, bergegas ke tempat parkir gedung, merogoh kantong lalu nyomot kunci motor di dalamnya.

Vespa biru metalik tunggangan produksi 1991 itu berkapasitas 150 Cc. Dia lancar distater, ngebut dan lincah menyalip di celah kemacetan sepanjang jalan ke arah Grogol. Sebagian ruas jalan sudah tak bisa ditembus, saya berbelok melipir ke 'dalam' hingga tembus di depan Mal Ciputra. Mal sudah ditutup untuk parkir.

Kerumunan massa dengan wajah murka berteriak-teriak di kanan-kiri jalan. Saya mencopot helm penutup kepala, untuk "memperkenalkan diri" kepada massa beringas yang tersulut isu SARA.

Vespa meliuk-liuk di bawah jalan layang, tak ada tempat parkir tapi juga tak mungkin saya terus duduk diatas motor. Sesekali saya standarkan si biru, untuk merasakan aura kegilaan massa. Tepatnya, saya ingin melihat dari dekat chaos, yang menyebabkan beberapa kendaraan motor dan mobil hangus dibakar massa. Sok tau banget. Tapi insting sok tau ini ternyata penting untuk pekerjaan wartawan. Eh, iya apa gak?

Ah, betapa sangat ruginya saya saat itu, berada di spot terbaik tapi tidak membawa kamera, yang sebenarnya sering saya jinjing kemana-mana. Hari itu, saya "off" motret, jadi belum sempat ke kantor redaksi "Harian Terbit" di Pulo Gadung untuk minta jatah satu roll film seluloid merk KODAK dari sekretaris redaksi, mbak Tuti.

Sampai detik itu, tidak terfikir sedikitpun jika kerusuhan akan membahayakan diri. Mungkin karena merasa ada "jaminan" bahwa saya adalah pribumi. Situasi begitu mencekam. Beberapa rumah, toko dan warung-warung pun aman tak tersentuh tangan massa yang kalap, hanya dengan coretan besar di depan toko: "Milik Pribumi". Entah hembusan SARA dari mana yang membakar jiwa massa hari itu, tetapi sangat masif.

Saya ingat jelas dan merekam suasana hanya di dalam hati dan kepala. "Sialan, gue gak bawa kamera!" kata saya, kali ini kepada Anto, sepupu yang membonceng sejak dari Blok M tadi.

Masih di bawah jembatan layang perempatan Grogol, sebuah truk sampah dikepung massa. Seorang diantaranya bertindak ala Mc Gyver, memodifikasi truk agar berjalan sendiri tanpa dikemudikan seseorang pun dan tanpa remote controle.

Sebuah batu besar sengaja ditempatkan menindih pedal gas truk, yang akhirnya berjalan sendiri. Di depan sana, sebuah sedan nahas terbakar. Skenarionya, truk akan menabrak sedan yang terbakar. Saya menunggu dengan sabar adegan yang akan bagus jika difilmkan itu. Dan, sesuai skenario, truk menghantam sedan. Keduanya terbakar sempurna.

Pandangan saya beralih menyapu ke sebuah POM Bensin yang juga dikerumuni massa. Ada yang berteriak "bakar..bakar.!! Belum sempat saya melihat POM bensin di seberang Mal Ciputra itu dibakar atau tidak, tapi saya sadar membawa anak orang. Anto harus saya antar pulang ke Cempaka Putih. Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 14.30 WIB.
Ya, tapi pulang lewat mana? Seluruh arus jalan ke berbagai arah sudah tertutup. Dari depan luar pagar Universitas Trisakti saya menengadah, melihat sebuah pesawat helikopter melayang dan menumpahkan tumpangannya; belasan tentara bersenjata lengkap turun bergelantungan mendarat di jalan layang.

"Ini sudah gak asik berada di sini. Harus keluar dari sini. Berbahaya," bisik saya kepada my Vespa

:)

Vespa biru itu membawa kami sejajar dengan posisi helikopter di seberang jalan layang (persis di depan Mall Ciputra), beringsut ke Cempaka Putih.

Esoknya, kerusuhan merata ke seluruh ibukota Jakarta. Sejauh mata memandang, hanya tetlihat kepulan asap hitam. Situasi ini tampak jelas dari jembatan layang Kemayoran dekat Arena Pekan Raya Jakarta.

Kerusuhan dua hari 12-13 Mei ini pun mereda. Tanggal 21 Mei 1998, di televisi Presiden Soeharto menyatakan "lengser keprabon" setelah 32 tahun berkuasa. Ribuan mahasiswa penggerak Reformasi merayakan kemenangan di Gedung DPR/ MPR.**

Saat itu, kalian lagi dimana dan sedang apa? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun